IMF Yakin Cina Mampu Cegah Masalah Evergrande Jadi Krisis Sistemik
Dana Moneter Internasional (IMF) meyakini Cina memilliki alat untuk mencegah krisis utang yang tengah dihadapi Raksasa Properti Evergrande berubah menjadi krisis sistemik. Lembaga ini turut memantau perkembangan yang terjadi di negeri ekonomi terbesar dunia ini.
Kepala ekonom IMF Gita Gopinath mengatakan bahwa sektor real estat adalah bagian besar dari ekonomi Cina. Potensi gagal bayar utang Evergrande, menurut dia, dapat berimplikasi pada aktivitas ekonomi dan stabilitas keuangan Cina.
"Kami mengikuti perkembangan di Cina dengan sangat cermat," kata Gopinath dikutip dari Reuters, Rabu (22/9).
Ia menekankan perlunya reformasi peraturan untuk mengatasi sektor properti yang sangat berpengaruh di negara tersebut. "Kami masih percaya bahwa Cina memiliki alat dan ruang kebijakan untuk mencegah ini berubah menjadi sistemik," katanya.
Evergrande adalah perusahaan properti terbesar kedua di Cina yang tengah menghadapi potensi gagal bayar utang. Tumpukan utangnya lebih dari US$ 300 miliar atau setara Rp 2.437 triliun. Angkanya tidak jauh dari produk domestik bruto (PDB) Filipina 2020 yang sekitar US$ 361,5 miliar, menurut data Bank Dunia.
Para investor khawatir kegagalan pembayaran utang jumbo ini akan berdampak ke sektor keuangan Cina dan merembet ke negara lain. Hasil analisis Citigroup Inc menuliskan, beberapa bank mungkin akan menjadi korban. Risiko kredit tertinggi ada pada China Minsheng Banking Corp, Ping An Bank Co, dan China Everright Bank Co.
S&P Global Ratings memperkirakan pemerintah Tiongkok tidak akan turun tangan untuk memberikan dukungan langsung kepada Evergrande.
"Kami tidak memperkirakan pemerintah akan memberikan dukungan langsung ke Evergrande," kata analis kredit S&P dalam laporan Senin (21/9), seperti dikutip dari CNBC.
Ia memperkirakan, pemerintah Cina hanya akan turun tangan jika ada transmisi luas dari gagal bayar ini, yang menyebabkan banyak pengembang besar gagal dan menimbulkan risiko sistemik terhadap ekonomi.“Kegagalan Evergrande saja tidak akan menghasilkan skenario seperti itu,” ujarnya.
Kekhawatiran atas potensi penularan dari Evergrande ke ekonomi Cina yang lebih luas dan lebih jauh menyeret indeks Hang Seng di Hong Kong lebih dari 3% pada Senin. Aksi jual berlanjut di seluruh dunia.
Cina saat ini juga tengah menghadapi masalah perlambatan ekonomi terutama seiring kasus Covid-19 yang kembali meningkat. Pertumbuhan ekonomi Negara Panda ini melambat sejak kuartal II 2021 yang tercatat 7,9% secara tahunan setelah mencapai puncaknya yang tumbuh 18,3% pada kuartal I 2021.
Evergrande akan melakukan sejumlah pembayaran bunga obligasi mulai Kamis. S&P mengatakan raksasa properti ini akan gagal bayar pada pembayaran tersebut.
"Kami percaya sektor perbankan China dapat mencerna gagal bayar Evergrande tanpa gangguan yang signifikan, meskipun kami akan memperhatikan potensi efek knock-on," kata S&P.
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyebut isu kegagalan korporasi di Negara Panda ini akan menjadi salah satu sentimen negatif yang dapat mempengaruhi arus modal asing ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Isu kegagalan korporasi di Tiongkok, rencana pengurangan stimulus The Fed, dan kenaikan kasus Covid-19 beberapa negara mempengaruhi perkembangan portofolio negara berkembang," ujar Perry dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur Bulan September, Selasa (21/9).
Perry mengatakan, sentimen krisis yang tengah dihadapi Evergrande mempengaruhi pasar modal di dalam negeri. Namun, ia mengatakan, dampak sentimen ini terhadap pasar surat berharga negara dan nilai tukar tidak banyak.
Ia menjelaskan investasi portofolio di Indonesia sejak Juli hingga 17 September mencatatkan arus modal masuk US$ 1,5 miliar. Hal ini, menurut dia, memperlihatkan bahwa sentimen Evergrande tak berdampak besar pada pasar keuangan domestik.
"Tentu saja ada ketidakpastian yang tinggi di pasar saham akibat sentimen ini, sehingga sempat mempengaruhi pasar saham. Namun, kami lihat dampaknya perlahan mereda," kata dia.