Dana Pemda di Bank Naik Jadi Rp 178 T, Cuma Jateng yang Defisit APBD
Kementerian Keuangan mencatat simpanan pemerintah daerah (Pemda) di perbankan hingga akhir Agustus 2021 mencapai Rp 178,95 triliun, naik dibandingkan bulan sebelumnya Rp 173,73 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kenaikan dana Pemda di bank terutama disebabkan oleh lambatnya realisasi belanja di daerah.
"Mayoritas pemerintah daerah saat ini belanjanya lebih rendah dari transfer," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KITA edisi September, Kamis (23/9).
Sri Mulyani menjelaskan, realisasi pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hingga akhir Agustus mencapai 53,7%. Ini lebih tinggi dibandingkan realisasi belanja APBD yang mencapai 44,17%.
Dari 34 provinsi yang ada, menurut Sri Mulyani, hanya Jawa Tengah yang realisasi belanjanya lebih besar dibandingkan pendapatannya yakni mencatatkan defisit 0,63%. Surplus anggaran terjadi pada 33 provinsi lainnya, terutama Banten dengan selisih pendapatan terhadap belanjanya mencapai 19,7%.
"Defisit itu berarti masyarakat langsung ikut menerima," ungkap Sri Mulyani.
Sri Mulyani juga membandingkan besaran simpanan Pemda di bank dengan belanja operasional yakni belanja pegawai serta belanja barang dan jasa yang dibutukan daerah selama tiga bulan. Hasilnya, mayoritas simpanan Pemda di perbankan masih lebih besar. "Kalau biaya operasionalnya lebih di atas (lebih besar) dan simpanannya lebih rendah, berarti (anggaran) sudah digunakan," kata Sri Mulyani.
Beberapa daerah yang kebutuhan belanjanya lebih besar dari simpanan adalah DKI Jakarta, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat. Sementara daerah yang memiliki simpanan di atas kebutuhan belanja, yakni Jawa Timur, Kalimantan Timur, Papua dan Aceh.
Realisasi belanja daerah hingga akhir Agustus mencapai Rp 537,93 triliun, naik 1,97% dari periode yang sama tahun lalu. enaikan terjadi pada belanja barang dan jasa yang mencapai Rp 133,29 triliun, naik 14,8% dari tahun lalu. Belanja pegawai sebesar Rp 238,97 triliun atau turun 0,9%, belanja modal sebesar Rp 38,74 triliun, urun 3,7%, serta belanja lainnya sebesar Rp 126,93 triliun, turun 2,3%.
Selain menyoroti rendahnya realisasi belanja daerah untuk kebutuhan umum, Sri Mulyani juga melihat realisasi anggaran daerah untuk penanganan Covid-19 daerah khususnya kesehatan juga masih minim. Anggaran yang terpakai hingga akhir Agustus baru mencapai Rp 22,5 triliun atau 41,5% dari pagu yang disediakan.
Sri Mulyani memerinci, nggaran yang diperoleh dari earmarking 8% terhadap DAU/DBH untuk penanganan Covid-19 baru terpakai Rp 11,7 triliun atau 29,9% dari pagu Rp 39,2 triliun. Anggaran ini terdiri atas sejumlah penggunaan, seperti dukungan vaksinasi, penangana Covid-19, dukungan pada kelurahan, insentif tenaga kesehatan daerah dan belanja kesehatan lainnya. Semua belanja tersebut realisasinya masih di bawah 50%.
Kemudian anggaran yang diperoleh dari DID untuk bidang kesehatan termasuk penanganan Covid-19 sebesar Rp 5,9 triliun. Dari nilai tersebut sudah terealisasi Rp 3,3 triliun atau 56,1%. Anggaran yang diperoleh dari earmarking 8% dana desa sebesar Rp 5,8 triliun dan sudah terealisasi Rp 5,7 triliun atau 99,9%. Serta anggaran dari penyaluran BOK untuk upaya pencegahan dan pengendalian Covid-19 sebesar Rp 3,3 triliun dan realisasinya sebesar Rp 1,7 triliun atau 51,8% dari pagu.