Rupiah Berpotensi Melemah Tertekan Inflasi AS dan Cina
Nilai tukar rupiah dibuka menguat 0,16% ke level Rp 14.255 per dolar AS di perdagangan pasar spot pagi ini. Namun, rupiah berpotensi melemah tertekan kekhawatiran pasar terhadap lonjakan inflasi di AS dan Cina.
Mengutip Bloomberg, rupiah melemah tipis ke level Rp 14.258 pada pukul 09.18 WIB. Namun, posisi ini masih penutupan kemarin Rp 14.278 per dolar AS.
Mata uang Asia lainnya bergerak bervariasi. Yen Jepang melemah 0,18% bersama dolar Singapura 0,09%, rupee India 0,18% dan yuan Cina 0,07%. Sedangkan dolar Taiwan menguat 0,05% bersama won Korea Selatan 0,23%, peso Filipina 0,22%, ringgit Malaysia 0,05% dan bath Thailand 0,19%. Sedangkan dolar Hong Kong stagnan.
Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah akan kembali melemah hingga Rp 14.320 per dolar AS, dengan potensi penguatan di kisaran Rp 14.230. per dolar AS. Pelemahan masih terpengaruh inflasi di sejumlah negara, terutama AS dan Cina yang memanas.
"Inflasi secara keseluruhan baik di AS dan di Cina berpotensi memperlambat perekonomian global," kata Ariston kepada Katadata.co.id, Jumat (12/11).
Meski kenaikan harga-harga terjadi di mayoritas negara dunia, pasar menaruh perhatian serius kepada dua perekonomian terbesar dunia, yakni AS dan Cina. Indeks Harga Konsumen (IHK) AS bulan lalu tercatat 6,2% secara tahunan, lebih tinggi dari perkiraan Dow Jones 5,9%. Kinerja ini sekaligus yang tertinggi dalam 30 tahun terakhir. Sementara inflasi bulanan tercatat 0,9%, juga di atas perkiraan sebesar 0,6%.
Inflasi inti bulanan naik 0,6% dari perkiraan 0,4%. Inflasi inti secara tahunan mencapai 4,6%, juga lebih tinggi dari ekspektasi 4% dan tertinggi sejak Agustus 1991.
Ariston mengatakan inflasi di AS dapat mendorong sentimen kenaikan bunga acuan kembali menguat dan mendorong pelemahan pada rupiah. Tekanan ini tetap ada sekalipun bank sentral AS sudah mengklarifikasi bahwa belum mempertimbangkan kenaikan bunga acuan dalam waktu dekat.
Menguatnya sentimen kenaikan bunga acuan kemudian mendorong yield US Treasury melanjutkan kenaikannya. Tingkat yield dibuka di level 1,57% pada perdagangan pagi ini, padahal awal pekan ini sempat menunjukkan penurunan. Tren kenaikan yield juga dapat memicu capital outflow di negara berkembang termasuk di Indonesia yang kemudian mendorong pelemahan nilai tukar.
Di Cina, IHK juga naik 1,5% secara tahunan, lebih tinggi dari 0,7% bulan sebelumnya. Laju inflasi bulan lalu tercatat sebagai yang tercepat sejak September tahun lalu.
Meski inflasi konsumen cenderung masih rendah, pasar khawatir dengan inflasi di tingkat produsen yang meroket. Indeks Harga Produsen (PPI) Cina mencata inflasi 13,5% pada Oktober. Ini naik dari 10,7% pada bulan sebelumnya, sekaligus tertinggi dalam 26 tahun terakhir.
Kekhawatiran inflasi di Cina bahkan tidak sebatas pada lonjakan harga-harga, melainkan menjurus pada ancaman stagflasi. Ini merupakan kondisi yang menggambarkan adanya lonjakan inflasi, pada saat yang sama ekonominya tumbuh melambat bahkan kontraksi.