Sri Mulyani Ungkap Bahaya Besar AS Injak ‘Rem’ karena Inflasi Tinggi
Amerika Serikat mencatatkan inflasi mencapai 6,2% secara tahunan, tertinggi dałam tiga dekade terakhir. Menteri Keuangan Sri Mulyani khawatir kondisi ini akan berimplikasi pada perubahan kebijakan moneter dan fiskal di negara tersebut.
“Mereja pasti akan dipaksa menginjak rem. Kalau mereka ngerem, seluruh dunia ikut terguncang. Istilahnya, saat negara maju bersin, seluruh dunia akan kena flu,” ujar Sri Mulyani dalam Kick Off Sosialisasi UU Harmonisasi Peraturan Perjakan, Jumat (19/11).
Sri Mulyani menjelaskan, inflasi AS saat ini jauh di atas target Bank Sentral AS sebesar 2%. Hal ini, menurut dia, akan berdampak pada kebijakan pengetatan moneter yang kemungkinan ditempuh lebih cepat.
Kondisi lonjakan inflasi tak Hanya terjadi di AS, tetapi juga di Eropa dan Cina. Ia mengatakan, Jerman merupakan salah satu negara di Eropa yang saat ini mengalami lonjakan inflası karena kenaikan harga komoditas dan gangguan rantai pasok. Sementara Cina, mengalami kenaikan harga terutama di tingkat produksi dan gangguan rantai pasok.
Selain masalah lonjakan inflasi yang berpotensi memicu tapering off lebih cepat, terdapat sejumlah risiko lain yang harus diwaspadai di tengah upara pemulihan ekonomi domestik. Risiko tersebut, antara lain pembahasan kenaikan plafon utang AS, dampak Brexit pada kekurangan tenaga kerja di Inggris, risiko gagal bayar Evergrande dan perlambatan ekonomi Jangka Menengah di Tiongkok , fluktuasi harga komoditas, gangguan rantai pasok, geopolitik, perubahan iklim, perkembangan pandemi Covid-19, hingga ancaman stagflasi.
Kondisi-kondisi tersebut berpotensi meningkatkan volatilitas di pasar keuangan, memperlambat pertumbuhan global, dan mendorong kenaikan inflasi impor.
“Ini kondisi yang harus diwaspadai pada akhir tahun ini hingga tahun depan saat kita harus memjaga ekonomi dan APBN,” Kata dia.
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti mengatakan tekanan inflasi di berbagai negara muncul akibat adanya lonjakan dari sisi permintaan. Ini terutama didorong oleh mulai dibukanya sejumlah sektor ekonomi. Di sisi lain, dari sisi suplai justru belum mampu memenuhi permintaan tersebut.
Secara umum kita perkirakan ganggaun ini (pasokan) sifatnya sementara karena ini merupakan pent-up demand (permintaan terpendam)," kata Destry dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Gubernur BI edisi November, Jumat (19/11).
Destry mengatakan butuh waktu dari sisi pasokan untuk menyeimbangkan lonjakan permintaan. Kondisi ini yang kemudian mendorong kenaikan harga-harga di sejumlah negara beberapa bulan terakhir, terutama di Amerika Serikat (AS).
"Ini jadi pelajaran yang tentu akan kita waspadai karena kita lihat pemulihan sudah mulai terjadi, konsumsi juga mulai meningkat, sehingga dari sisi supplynya perlu penyeimbangan nantinya," kata Destry.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan hal serupa, gangguan dari sisi pasokan mendorong kenaikan harga, tetapi inflasi dipastikan hanya bersifat sementara. Masalah krisis energi yang juga jadi penyulut kenaikan harga diramal akan mulai mereda tahun depan. "Dengan demikian tidak akan memberi tekanan yang terlampau besar ke pertumbuhan ekonomi," kata Doddy.