Rupiah Terancam Tembus Rp15.000 / US$, Pasar Waspadai Inflasi Tinggi
Nilai tukar rupiah dibuka melemah 37 poin ke level Rp 14.940 per dolar AS di pasar spot pagi ini. Pelemahan diperkirakan diramal berlanjut seiring kekhawatiran pasar terhadap inflasi domestik dan sikap hawkish The Fed.
Mengutip Bloomberg, rupiah semakin melemah ke level Rp 14.954 pada pukul 09.40 WIB. Sementara mata uang Asia lainnya bergerak bervariasi terhadap dolar AS.
Pelemahan juga dialami dolar Hong Kong 0,01% bersama dolar Taiwan 0,02%, peso Filipina 0,11%, rupee India 0,1%, baht Thailand 0,24% dan ringgit Malaysia 0,05%. Yuan Cina dan won Korsel kompak menguat 0,06% bersama yen Jepang 0,15%, dolar Singapura 0,04% .
Analis DCFX Lukman Leong menyebut kekhawatiran pasar terhadap kenaikan inflasi mendorong berlanjutnya pelemahan rupiah hari ini. Ia memperkirakan rupiah masih bergerak di rentang Rp 14.900-Rp 15.050 per dolar AS.
"Rupiah masih akan tertekan oleh kombinasi kekhawatiran inflasi dalam negeri yang naik tinggi dan resesi di AS, semakin memicu penguatan USD dan turunnya yield obligasi AS," kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (4/7).
Indeks Harga Konsumen (IHK) Juni 2022 kembali naik menjadi 4,35% secara tahunan, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 3,55% dan level ini sudah melampaui batas atas target bank sentral 4%. Inflasi secara bulanan juga lebih tinggi menjadi 0,61%.
Selain sentimen tersebut, pasar juga mengantisipasi rilis risalah pertemuan pembuat kebijakan The Fed pada Rabu pekan ini. Dokumen tersebut kemungkinan kembali memperkuat sikap hawkish The Fed.
Senada dengan Lukman, analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah juga akan melemah hari ini seiring penurunan pada yield obligasi AS. Ia memperkirakan rupiah bisa melemah hingga Rp 15.000 per dolar AS, dengan potensi penguatan di kisaran Rp 14.900 per dolar AS.
"Yield obligasi AS terlihat menurun drastis, yang artinya banyak pelaku pasar membeli obligasi AS beberapa hari belakangan ini untuk mengamankan nilai aset mereka," kata Ariston.
Yield obligasi AS tenor 10 tahun sudah bergerak di bawah 3% yaitu di kisaran 2,88%. Dia menyebut isu resesi menjadi penyebab beralihnya investasi pelaku pasar keuangan ke obligasi AS dan meningkatkan tekanan ke rupiah.
Kekhawatiran terhadap resesi tersebut seiring kebijakan pengetatan moneter bank sentral dunia ditambah inflasi yang tinggi. AS misalnya, inflasinya sudah menyentuh level tertinggi dalam empat dekade sehingga mendorong bank sentralnya menaikkan bunga agresif dalam beberapa pertemuan terakhir.
Pasar saat ini juga mengantisipasi The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuannya secara agresif. The Fed dalam pertemuan bulan lalu menyebut berencana kembali menaikkan bunga pada pertemuan bulan ini 50-75 bps.
"Perbedaan yield antara Indonesia dan AS yang menyempit mendorong pasar mencari aman di aset dolar AS dibandingkan rupiah sehingga ini ikut memberikan tekanan ke rupiah," kata Ariston.