Asosiasi Panas Bumi Mengeluh Perpres Tarif EBT Tak Sesuai Harapan

Muhamad Fajar Riyandanu
15 September 2022, 21:18
Perpres EBT, tarif EBT, panas bumi, asosiasi panas bumi
ANTARA FOTO/Anis Efizudin/tom.
Ilustrasi. API mengajukan skema Feed in Tariff atau FiT dalam penetapan harga beli listrik, berbeda dari yang ditetapkan dalam Perpres EBT saat ini.

Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) menyatakan, harga pembelian tenaga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi atau PLTP yang ditetapkan oleh pemerintah tak sesuai harapan. API mengajukan skema Feed in Tariff atau FiT, berbeda dari yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 tahun 2022 yakni harga pembelian tenaga listrik dari PLTP dapat berubah dalam jangka waktu tertentu.

Dalam pasal 5 perpres tersebut, harga listrik berpotensi berubah-ubah dengan adanya kebijakan evaluasi harga yang dilakukan setiap tahun. Selain itu, ada aturan yang menuliskan kemungkinan praktik negosiasi dalam penentuan harga pembelian tenaga listrik.

Ketua API Prijandaru Effendi mengatakan, para pelaku usaha panas bumi telah mengajukan harga pembelaian listrik dengan skema FiT sejak awal perpres digodok. Skema ini menyepakati harga yang ditetapkan di awal sudah tetap dan tidak dapat dinegosiasi.

Adapun mekanismenya, para pelaku usaha yang melakukan pelalangan proyek sudah menetapkan harga untuk perjanjian jual beli tenaga listrik atau PLJB di depan melalui kontrak. Hal tersebut, menurut dia, lebih memberikan kepastian harga kepada investor sekaligus mempercepat upaya pengembangan pembangkit listrik panas bumi yang saat ini terkendala dari sisi tarif.

"Kami itu kan mengusulkan Feed in Tariff ya. Masih terlalu dini untuk menilai harga yang ditetapkan pemerintah baik atau tidak. Namun, kalau ditanya apakah angkanya sesuai dengan API, iya memang tidak sesuai," kata Prijandaru saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Kamis (15/4).

Meski skema harga pembelian listrik PLTP tak sesuai harapan, ia berharap pemerintah akan memberikan kemudahan maupun insentif bagi proyek pengembangan panas bumi. Ini karena kegiatan ekplorasi dan eksploitasi di bisnis panas bumi terbilang mahal dan berisiko.

Adapun dalam perpres tersebut, pemerintah sebenarnya telah menulis aturan khusus mengenai insentif. Salah satunya termuat dalam pasal 22 yang menjanjikan insentif fiskal dan nonfiskal bagi badan usaha energi terbarukan. Pasal tersebut jug secara spesifik menyebutkan dukungan bagi pengembangan panas bumi.

Prijandaru mengatakan, para pelaku usaha panas bumi saat ini sebenarnya sudah mendapatkan insentif dari pemerintah berupa pengurangan pajak. Namun, mereka berharap ada tambahan insentif. 

"Ada insentif yang belum kami dapat seperti pajak bumi dan bangunan pada saat eksploitasi, itu sangat besar nilainya. Saat ini, pengembangan eksplorasi pada panas bumi 100% menggunakan ekuitas," katanya.

Prijandaru berharap sejumlah insentif yang akan diturunkan dalam peraturan menteri dapat bisa mendorong pengembangan bisnis panas bumi di Tanah Air. "Kami terus bekerja bersama Kementerian ESDM untuk menyesuaikan aturan turunnannya. Kami harap itu memberikan stimulus untuk berinvestasi," ujar Priyandaru.

Presiden Joko Widodo sebelumnya menerbitkan aturan teranyar soal harga pembelian tenaga listrik dari pembangkit yang memanfaatkan sumber energi terbarukan oleh PT PLN. Ketetapan tersebut diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 Tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan atau EBT untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Aturan ini berlaku mulai 13 September 2022.

 

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...