Sanksi Harga Minyak Berpotensi Bikin Defisit Anggaran Rusia Membengkak
Sanksi terbaru negara-negara Barat berupa pembatasan harga minyak Rusia berhasil menekan perekonomian negara tersebut. Defisit Anggaran Rusia diperkirakan lebih tinggi dari yang diperkirakan, yakni sebesar 2% terhadap PDB pada tahun depan.
Mengutip CNBC, Menteri Keuangan Rusia Anton Siluanov mengatakan kepada para jurnalis bahwa batas harga minyak yang diberlakukan kelompok 7 negara ekonomi terbesar dunia, serta Uni Eropa dan Australia telah menekan pendapatan ekspor Rusia. Ini berpotensi mendorong defisit anggaran Moskow lebih tinggi dari yang diperkirakan, yakni 2% terhadap PDB.
Sementara itu, Wakil Perdana Menteri Alexander Novak dalam pemberitaan di Kantor Berita RIA mengatakan bahwa embatasan harga ekspor minyak mentah dan olahan Rusia dapat membuat Kremlin memangkas produksi antara 5% dan 7% pada tahun depan. Meski demikian, para pejabat Moskow menyarankan negara tetap dapat membiayai defisit anggaran yang mungkin lebih besar melalui penerbitan obligasi domestik.
Bukan hanya kelompok negara G7, Ke-27 negara Uni Eropa secara keseluruhan juga sepakat pada Juni untuk melarang pembelian minyak mentah Rusia mulai 5 Desember.
"Masih terlalu dini untuk sepenuhnya menilai dampak dari pembatasan harga minyak G7 dan larangan UE terhadap impor minyak mentah Rusia yang mulai berlaku pada 5 Desember, tetapi tanda-tanda awal menunjukkan bahwa ekonomi Rusia mulai merasakan tekanan," kata Nicholas Farr, Ekonom Eropa di Capital Economics.
Ia menjelaskan bahwa data telah menunjukkan ekspor minyak Rusia telah turun sejak sanksi diberlakukan dan selisih antara harga minyak mentah Brent dengan harga minyak Ural melebar.
Farr melihat, penurunan harga global dalam beberapa bulan terakhir juga memberikan pukulan terhadap perekonomian Rusia. Harga minyak mentah Brent turun dari puncak sekitar US$98 per barel pada bulan Oktober menjadi sekitar US$ 77 awal bulan ini, tetapi pulih menjadi sekitar US $84,50/bbl pada Selasa pagi di Eropa.
Sementara itu, rubel Rusia turun hampir 10% terhadap dolar minggu lalu, menjadikannya mata uang emerging market dengan kinerja terburuk sejauh ini.
Menurut Farr, bank sentral Rusia kemungkinan akan kembali menaikkan suku bunga untuk menjaga inflasi tetap terkendali jika rubel terus melemah pada 2023.
“Rusia telah mendapat manfaat yang signifikan dari dorongan persyaratan perdagangannya dari harga komoditas yang tinggi pada tahun 2022, tetap dukungan terhadap ekonomi ini sekarang tampaknya memudar,” kata Farr dalam risetnya.
Ia memperkirakan, ekonomi Rusia akan kembali mengalami kontraksi pada tahun depan. Penurunan pendapatan energi akan membuat neraca Rusia dalam tekanan.
Setelah menjadi pilar utama kekuatan ekonomi Rusia tahun ini, Capital Economics memperkirakan surplus neraca berjalan Rusia akan menyusut dengan cepat dalam beberapa bulan mendatang.
“Ada risiko tinggi bahwa penyeimbangan eksternal yang besar diperlukan mulai tahun 2024, yang akan membuat pertumbuhan sangat lamban,” kata Farr.