BI Ungkap Penyebab Rupiah Loyo hingga Tembus 15.600 per Dolar AS
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menembus 15.600 per dolar AS sejak kemarin, Selasa (3/10). Deputi Gubernur Bank Indonesia Destry Damayanti mengatakan, tekanan terhadap rupiah lebih disebabkan memburuknya sentimen pelaku pasar keuangan terhadap kondisi perekonomian di AS.
Menurut dia, tekanan terutama datang dari pernyataan anggota dewan gubernur Bank Sentral AS The Federal Reserve yang mengindikasikan tekanan terhadap perekonomian AS masih sangat besar.
"Tiap kami dengar pernyataan dari member bank sentral, mereka itu langsung swing di market besar sekali," ujar Destry dalam acara Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (4/10).
Destry menjelaskan, para pejabat The Fed sangat bebas dalam memberikan pandangan. Hal tersebut, akhirnya justru menimbulkan ketidakpastian di pasar
“Akhirnya memengaruhi ketidakpastian ekonomi di sana dan global," kata Destry.
Ia mencontohkan ketika salah satu anggota dewan gubernur The Fed pekan ini memberikan pendapat bahwa ada kemungkinan Bank Sentral AS terus mempertahankan kebijakan moneter dalam jangka waktu panjang, hal tersebut berdampak pada pasar keuangan global. Pernyataan The Fed, menurut dia, mendorong indeks dolar AS hingga ke level 107, tertinggi sepanjang tahun ini. Imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun juga naik ke level 4,7%, tertinggi sejak 2007.
"Tampaknya, The Fed harus mempertahankan suku bunga tinggi dalam jangka waktu lama. Belum lagi jika pada November ada kenaikan Fed Fund Rate 25 basis points, suku bunga AS nanti akan sama dengan BI Rate kita 5,75%," kata Destry.
Nilai tukar rupiah melemah 0,4% ke level 15.630 per dolar AS pada perdagangan pukul 14.00 WIB. Pengamat Pasar Uang Lukman Leong menilai, pelemahan rupiah terjadi imbas rilis data ketenagakerjaan Amerika yang lebih kuat dari perkiraan.
Melansir Reuters, pembukaan lapangan kerja di AS secara tak terduga meningkat pada Agustus seiring lonjakan permintaan pekerja di sektor profesional dan jasa bisnis. Hal ini menunjukkan masih ketatnya pasar tenaga kerja yang dapat memaksa The Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga bulan depan.
Lonjakan yang dilaporkan oleh Departemen Tenaga Kerja dalam Survei Pembukaan Pekerjaan dan Perputaran Tenaga Kerja, atau laporan JOLTS, pada hari Selasa (3/10) mencatatkan kenaikan setelah penurunan lowongan pekerjaan selama tiga bulan berturut-turut.