- Sinyal tapering off oleh Bank Sentral Amerika Serikat mulai tahun ini semakin kuat.
- BI optimistis dampak tapering off kali ini tak akan seburuk seperti saat taper tantrum 2013.
- Pemerintah dan Bank Indonesia telah menyiapkan strategi untuk mengantisipasi efek tapering off.
Sinyal penarikan stimulus atau tapering off oleh Bank Sentral AS, The Federal Reserve yang mungkin dimulai tahun ini menimbulkan riak di pasar keuangan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat turun di bawah level 6.000 pada pekan lalu, rupiah juga melemah mendekati Rp 14.500 per dolar AS. Pasar seakan kembali diingatkan pada kenangan buruk dari kebijakan serupa pada 2013 yang dikenal dengan periode taper tantrum.
Taper tantrum sebenarnya adalah istilah yang digunakan media ekonomi untuk menggambarkan lonjakan imbal hasil surat berharga AS pada 2013 karena pengumuman The Federal Reserve. Ben Bernanke yang memimpin The Fed pada Juni 2013, mengumumkan rencananya untuk mulai menarik stimulus dengan mengurangi pembelian obligasi dari US$ 85 miliar menjadi US$ 75 miliar, berlaku mulai 2014.
Efeknya, rupiah yang sempat berada di bawah Rp 10 ribu per dolar AS anjlok hingga ke level 12.000 per dolar AS pada 2013. Nasib pasar saham pun tak jauh lebih baik. Indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sebelumnya berada di level 5.200 jatuh ke level 4.200 di akhir 2013 dan bahkan sempat menyentuh titik terendahnya di bawah 4.000 pada Agustus. Pemerintah mencatat, arus modal yang keluar dari Indonesia saat periode taper tantrum mencapai Rp 36 triliun.
Efek kebijakan The Fed tak hanya bertahan pada 2013. Penarikan stimulus yang berlangsung hingga Oktober 2014 dan berlanjut dengan kenaikan bunga The Fed pada 2015 berdampak pada tren panjang pelemahan rupiah. Rupiah terus melemah hingga menyentuh 14.690 per dolar AS pada September 2015, seperti dapat dilihat dalam databoks di bawah ini.
Setelah mencapai puncak pelemahan pada September 2015 akibat taper tantrum, rupiah bergerak menguat sebelum kembali bergejolak akibat sentimen perang dagang pada 2019 dan mulai merebaknya pandemi Covid-19 pada tahun lalu. Gelontoran stimulus ekonomi Amerika Serikat dan berbagai negara maju lah yang mendorong rupiah dengan cepat kembali bergerak menguat.
Namun, pemulihan ekonomi AS yang ternyata lebih cepat dibandingkan saat krisis finansial global 2008-2009. Hal ini turut berdampak pada kebijakan stimulus The Fed. Risalah Rapat The Fed akhir Juli yang dirilis pada pertengahan Rabu (18/8) memberikan sinyal kuat tapering off The Fed akan dimulai tahun ini.
Meski demikian, risalah tersebut juga mengungkapkan, para pejabat The Fed ingin memperjelas bahwa pengurangan aset bukan berarti kenaikan suku bunga akan dilakukan dalam waktu dekat. Risalah rapat tersebut juga mencatat bahwa sebagian pejabat The Fed ingin menunggu awal 2022 untuk memperjelas kebijakannya.
Dewan Gubernur The Fed Christopher Waller pada awal bulan ini mengatakan, The Fed kemungkinan mulai mengurangi pembelian obligasi pada Oktober 2021, tetapi tergantung pada data pengangguran. Adapun data klaim pengangguran yang dirilis Kamis (19/8) semakin memperkuat sinyal ini lantaran berhasil mencetak rekor klaim terendah tahun ini. Ekonomi dianggap telah mencapai tujuannya jika melihat data inflasi dan kemajuan pertumbuhan pekerjaan yang hampir memuaskan.
Mengutip CNBC, Departemen Ketenagakerjaan melaporkan klaim pengangguran pekan kedua bulan ini yang berakhir 14 Agustus mencapai 348 ribu. Angka ini turun 29 ribu dari pekan sebelumnya dan lebih rendah dari perkiraan Dow Jones 365 ribu. Data ini diperbarui setiap seminggu sekali.
Level terendah yang pernah dicapai yakni pada pekan kedua Maret 2020 sebanyak 256 ribu klaim. Sepekan setelahnya, klaim pengangguran melonjak 2,9 juta yang mengindikasi pandemi Covid-19 mulai mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan. Klaim pengangguran mencapai rekor tertingginya pada pekan pertama April tahun lalu, jumlahnya mencapai 6,1 juta. Angkanya kemudian terus turun hingga akhir tahun, tetapi sempat menunjukkan kenaikan tipis di pekan-pekan awal tahun 2021 ketika terjadi gelombang kedua Covid-19.
Pemulihan pasar tenaga kerja menjadi salah satu tolak ukur The Fed sebelum benar-benar memulai tapering off. Meski data inflasi sudah melonjak sejak awal tahun ini, The Fed belum bergeming lantaran melihat ekonomi belum benar-benar pulih berkaca pada data tenaga kerja.
Meski langkah tapering off semakin dekat, Pejabat The Fed telah berulang kali mengatakan bahwa tapering akan terlebih dulu dilakukan. Sementara kenaikan suku bunga, baru akan dilakukan setelah proses pengurangan pembelian obligasi tersebut rampung dan Bank Sentral AS tak lagi menambah neracanya.
The Fed saat ini membeli setidaknya US$ 120 miliar obligasi setiap bulan, terbagi antara US$ 80 miliar melalui US Treasury dan US$ 40 miliar di sekuritas berbasis hipotek. Stimulus ini telah berjalan sejak tahun lalu dan meningkatkan neraca bank sentral AS hampir dua kali lipat dari US$ 4,3 miliar pada Maret 2020 menjadi US$ 8,1 triliun pada Juni 2021. Sementara pada periode quantitative easing untuk menanggulangi krisis finansial 2008-2009, neraca keuangan The Fed naik dari US$ 1 triliun menjadi US$ 3 triliun.
Fundamental Ekonomi Jauh Lebih Baik
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memastikan, efek tapering off dalam waktu dekat ini tidak akan seburuk saat taper tantrum 2013. "Dampaknya terhadap global maupun negara berkembang, termasuk Indonesia tidak akan sebesar taper tantrum The Fed yang terjadi pada 2013," kata Perry dalam konferensi pers hasil rapat dewan gubernur Bank Indonesia, Kamis (19/8).
Perry menjelaskan, ada tiga alasan pengetatan stimulus The Fed tidak akan mempengaruhi kondisi domestik sebesar saat taper tantrum 2013. Pertama, komunikasi yang dibangun The Fed selama ini sudah sangat jelas. Transparansi yang dimaksud Perry, menyangkut kerangka kerja yang akan dilakukan bank sentral AS, mencakup prospek ekonomi, khususnya inflasi dan pengangguran, serta keterbukaan terkait rencana akan dilakukannya tapering off. Hal ini mendorong pasar semakin memahami pola kerja otoritas moneter AS tersebut.
Kedua, Perry memastikan BI telah memiliki kebijakan yang sudah diimplementasikan selama ini untuk menjaga stabilitas rupiah, yakni strategi triple intervention. Langkah ini, menurut dia, sempat dilakukan pada bulan-bulan awal 2021 ketika US Treasury melonjak hingga 1,9%. Bank Indonesia mengantisipasi kaburnya dana asing dari pasar surat berharga negara (SBN) mencapai Rp 8,6 triliun dari total Rp 11 triliun dana yang keluar.
Ketiga, kondisi moneter dalam negeri yang lebih stabil, antara lain dengan cadangan devisa yang cukup tinggi mencapai US$ 137,4 miliar pada Juli 2021. Angka cadangan devisa ini jauh lebih tinggi dibandingkan pada Juni 2013 yang hanya mencapai US$ 98,1 miliar. "Ini jauh lebih cukup untuk melakukan stabilisasi," ujarnya.
Cadangan devisa yang tinggi terutama didukung oleh kinerja neraca pembayaran yang lebih baik seiring defisit transaksi berjalan yang jauh lebih rendah. Berdasarkan catatan Bank Indonesia, neraca pembayaran pada kuartal kedua 2021 defisit US$ 312 juta, setelah surplus mencapai US$ 4,49 miliar kuartal sebelumnya. Sementara pada periode awal taper tantrum yakni kuartal II 2013, neraca pembayaran defisit mencapai US$ 1,4 miliar, menurun dibandingkan kuartal sebelumnya yang bahkan mencapai US$ 5,97 miliar.
Kinerja neraca pembayaran ini tak lepas dari angka defisit transaksi berjalan. Sejak pandemi Covid-19, defisit transaksi berjalan Indonesia mengecil, bahkan sempat mencatatkan surplus pada kuartal III dan IV tahun lalu. Sementara pada kuartal II 2021, defisit transaksi berjalan US$ 2,23 miliar. Angka defisit ini jauh lebih baik dibandingkan kuartal II 2013 yang mencapai US$ 10 miliar, seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.
Dengan optimisme efek tapering off yang tak terlalu buruk, ia menegaskan kebijakan bank sentral tetap akan fokus mendorong pertumbuhan ekonomi, yakni dengan suku bunga tetap rendah dan kebijakan makro prudensial akomodatif. Sementara efek tapering off akan diantisipasi BI dengan kebijakan intevensi tiga lapis dan koordinasi erat dengan pemerintah.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu memastikan, pemerintah akan menyiapkan langkah mitigasi dalam mengadapi efek yang mungkin timbul dari rencana tapering off The Fed, terutama pada pasar surat berharga negara. Pemulihan ekonomi AS akan mendorong The Fed memperketat kebijakannya dan menaikkan suku bunga yang dapat berdampak pada aliran modal asing di negara-negara berkembang.
Saat ekonomi Amerika pulih dan suku bunga di negara tersebut naik, investor akan berbondong-bondong menempatkan dana di negara tersebut. Apalagi, jika ekonomi negara-negara berkembang termasuk Indonesia belum sepenuhnya pulih. "Bagaimana perubahan tingkat suku bunga negara maju terutama AS pada perekonomian negara berkembang terutama capital outflow sudah terlihat dari beberapa tahun terakhir sehingga kami akan memitigasi," kata Febrio.
Risiko tapering off The Fed sudah jauh-jauh hari diingatkan oleh ekonom Chatib Basri yang memiliki pengalaman menjadi menteri keuangan saat Indonesia berada pada periode taper tantrum. Sejak awal 2021, ia menekankan Indonesia harus pulih lebih cepat dari negara-negara maju, terutama Amerika Serikat demi menghindari arus modal keluar lebih deras.
Saat ekonomi Negeri Paman Sam pulih, tingkat bunga di pasar keuangan negara tersebut akan naik. Arus modal yang tadinya masuk ke Indonesia akan berbalik ke AS. Pada periode taper tantrum 2013, pemerintah dan regulator menerapkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi gejolak di pasar saham dan pasar surat berharga negara, salah satunya dengan menggunakan BUMN untuk menstabilkan pasar.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede sependapat dengan Bank Indonesia. Menurut dia, pengurangan pembelian obligasi pemerintah AS tidak akan mendorong pelemahan pasar keuangan negara berkembang sedalam saat periode taper tantrum 2013. "Selain pelaku pasar yang sudah memperkirakan sebelumnya, kondisi fundamental ekonomi Indonesia sebagai negara berkembang saat ini cenderung lebih baik," ujar Josua kepada Katadata.co.id.
Ia juga menilai kebijakan yang dimiliki pemerintah dan BI sudah cukup baik. Meski demikian, menurut dia, pemerintah dan BI perlu mengantisipasi ketidakpastian pandemi yang akan mempengaruhi kecepatan pemulihan ekonomi nasional.
"Pemerintah dan BI perlu menyiapkan skenario apabila pemulihan ekonomi yang terhambat dan mempengaruhi juga postur defisit APBN pada tahun 2023 yang awalnya diharapkan akan kembali di level maksimal 3% terhadap PDB," katanya.
Kesinambungan fiskal akan berpengaruh pada ekspektasi investor asing dan lembaga pemeringkat. Padahal, kondisi penilaian mereka penting untuk menjaga arus modal asing di tengah sentimen tapering off The Fed. "Secara keseluruhan dampaknya tidak akan seberat 2013, apalagi jika komunikasi pemerintah dengan investor dan lembaga rating dapat terkelola dengan baik," ujarnya.
Ekonom BCA David Sumual turut memperkirakan dampak dari tapering off yang akan dilaksanakan The Fed tak akan seberat tahun 2013, terutama pada nilai tukar rupiah. Hal ini juga didukung oleh porsi kepemilikan asing di surat utang negara jauh lebih rendah dibandingkan satu windu lalu.
Meski demikian, ia menekankan, pemerintah harus mempercepat pemulihan ekonomi dengan mengendalikan kasus Covid-19. Jika ekonomi negara maju pulih jauh lebih cepat, modal asing akan semakin banyak keluar dari Indonesia. "Yang terpenting untuk dilakukan saat ini adalah memulihkan ekonomi lebih cepat," katanya.