Simpang Siur Pasal Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja, Ini Faktanya
Berbagai informasi yang belum jelas kebenarannya beredar usai pengesahan Undang-undang Cipta Kerja di DPR pada Senin pekan lalu. Bahkan Presiden Joko Widodo sempat menuding demonstrasi yang terjadi karena dipicu merebaknya hoaks.
Beberapa yang disinggung Presiden adalah pemberlakuan upah per jam, penghapusan cuti tanpa kompensasi, mudahnya pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, dan hilangnya jaminan sosial.
Tak hanya itu, aparat juga menciduk orang-orang yang dianggap menyebarkan berita bohong. Meski demikian, sebelumnya buruh membantah bahwa aturan tersebut adalah kebohongan. Mereka menyatakan beberapa klausul soal jam kerja, pekerja alih daya, kontrak, hingga pesangon berpotensi terjadi.
Dikutip dari beberapa pemberitaan, ada lebih dari 10 hal krusial yang terus menjadi perdebatan dalam Bab Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja. Dikutip dari UU Cipta Kerja terbaru yang berisi 812 halaman dan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, berikut kabar yang beredar dan aturan yang sebenarnya tertulis dalam aturan sapu jagat tersebut.
Penghapusan cuti haid, hamil, dan melahirkan
Dalam Pasal 79 ayat 1 UU Cipta Kerja, pengusaha tetap wajib memberikan waktu istirahat dan cuti kepada buruh. Cuti paling sedikit diberikan selama 12 hari usai pekerja bekerja 12 bulan secara terus menerus. Sedangkan ketentuan haid dan melahirkan tetap mengacu pada Pasal 81 dan 82 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Penghapusan pesangon
Ketentuan pesangon bagi buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) diatur dalam Pasal 156 UU Cipta Kerja. Uang pesangon maksimal diberikan sembilan bulan upah dengan uang penghargaan sebanyak 10 bulan upah. Dalam Pasal 18, sisa enam bulan upah akan ditanggung pemerintah dengan format Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Upah per jam
Dalam Pasal 88B, kebijakan pengupahan dihitung berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil. Aturan ini belum menjelaskan detail satuan tersebut dan pada ayat (2) Pasal 88B menyatakan ketentuan lebih jauh akan masuk dalam Peraturan Pemerintah.
Perusahaan bebas melakukan PHK
Pasal 154A mengatur 15 alasan pengusaha dapat melakukan PHK kepada pekerjanya. PHK bisa diajukan jika perusahaan melakukan penggabungan hingga pemisahan entitas, efisiensi dengan penutupan perusahaan, dan kerugian selama 2 tahun berturut-turut.
Faktor lainnya adalah perusahaan tutup karena keadaan memaksa, dalam keadaan penundaan kewajiban bayar utang, pailit, ada permohonan dari buruh, adanya putusan perselisihan hubungan industrial, buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri, dan mangkir selama lima hari berturut-turut.
Alasan lain, buruh melakukan pelanggaran yang diatur perusahaan, buruh tak dapat bekerja selama enam bulan akibat ditahan karena tindak pidana, pekerja mengalami sakit atau cacat dan tidak dapat melakukan pekerjaan setelah melampaui batas 12 bulan, buruh masuk usia pensiun, dan meninggal dunia.
Dalam UU 13 Tahun 2003, klausul ini sebenarnya diatur lebih detail. Namun dalam UU Cipta Kerja, Pasal 161 sampai 172 ini telah dihapus. Adapun 10 kriteria pekerja yang tak boleh kena PHK tetap mengacu UU Ketenagakerjaan.Sedangkan ketentuan detail tata cara PHK akan mengacu Peraturan Pemerintah.
Penghapusan Upah Minimum Kabupaten (UMK), Upah Minimum Provinsi (UMP), dan Upah Sektoral
Pasal 88C tetap mengatur keberadaan upah minimum provinsi (UMP). Dalam ayat (1), Gubernur juga dapat menetapkan upah minimum kabupaten dan kota dengan syarat tertentu dan harus lebih tinggi dari UMP. Adapun ketentuan lebih detail upah minimum akan diatur dalam PP.
Hilangnya jaminan sosial dan kesejahteraan
Dalam Pasal 46A dan 46B ada ketentuan pemberian Jaminan Kehilangan Pekerjaan bagi buruh/pekerja yang terkena PHK selama enam bulan. Sumber pendanaannya berasal dari anggaran pemerintah, rekomposisi program jaminan sosial, serta dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
Tenaga Kerja Asing bebas masuk
Dalam Pasal 42, pemberi kerja wajib memiliki rencana penggunaan TKA yang disahkan pemerintah pusat. Namun dalam ayat (2), ketentuan tersebut tak berlaku bagi direksi/komisaris dengan kepemilikan saha tertentu, pegawai diplomatik, dan TKA pada jenis kegiatan produksi darurat, vokasi, startup, penelitian, dan kunjungan bisnis. TKA juga tak boleh menduduki jabatan personalia.
Tak hanya itu dalam Pasal 45, diatur ketentuan agar pemberi kerja TKA wajib menunjuk Warga Negara Indonesia sebagai pendamping untuk alih teknologi dan keahlian. Pemberi kerja juga harus melaksanakan pelatihan bagi tenaga kerja lokal sesuai kualifikasi jabatan TKA. Pekerja asing juga wajib dipulangkan ke negaranya setelah hubungan kerja berakhir.
Status karyawan tetap berubah jadi kontrak
Pengaturan hanya terjadi pada pegawai perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) alias pekerja kontrak yakni pada Pasal 56 hingga 59. Bahkan jika pemberi kerja tak memenuhi hal tersebut, pekerja kontrak harus dijadikan pekerja perjanjian kerja waktu tidak tertentu alias pekerja tetap.
Libur hari raya dan ibadah
Seperti UU Nomor 13 Tahun 2003, Pasal 79 UU Cipta Kerja tak menyebut detail mengenai libur hari raya. Namun dalam ayat (6) Pasal tersebut, ketentuan libur panjang akan diatur lewat PP. Sedangkan dalam Pasal 153, pengusaha dilarang melakukan PHK terhadap pekerjanya dengan alasan menjalankan ibadah.
Kontrak seumur hidup
Dalam Pasal 66 yang mengatur pekerja alih daya, tak disebutkan berapa lama waktu perjanjian kerja mereka. Dalam ayat (1), disebutkan hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan buruh yang dipekerjakannya didasarkan perjanjian tertulis, baik untuk waktu tertentu maupun waktu tidak tertentu. Seperti Pasal-pasal lain, ketentuan lebih detail akan diatur dalam PP.
Larangan protes dan ancaman PHK
Tak ada larangan protes dan demonstrasi buruh dalam Bab Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja. Sesuai Pasal 154A, unjuk rasa tak masuk dalam alasan pemberi kerja melakukan PHK kepada pekerjanya. PHK baru bisa dilakukan jika buruh tak dapat bekerja selama enam bulan akibat ditahan karena tindak pidana.