Pakar Nilai Pembuat Mural Jokowi 404 Not Found Tidak Bisa Dipidana
Kepolisian menangkap pelaku mural yang menggambar wajah mirip Presiden Joko Widodo bertuliskan 404: Not Found di Batuceper, Tangerang dengan alasan penghinaan. Namun, pakar hukum tata negara menilai pembuatan mural tersebut tidak ada tindak pidananya.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kasus itu merupakan delik aduan. Untuk itu, polisi tidak bisa memproses kasus sebelum ada pihak yang dirugikan dan melaporkan ke aparat berwenang.
"Kalau Jokowi merasa tersinggung, dia mengadu ke Bareskrim, baru bisa diproses," ujar dia kata Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti kepada Katadata.co.id, Kamis (19/8).
Bivitri menganggap polisi bereaksi berlebihan dan terlihat menakuti publik dengan memburu pelaku mural tersebut. Padahal, mural menjadi saluran ekspresi politik. Selain itu, polisi tidak bisa membuktikan pelanggaran pidana dengan dalih penghinaan simbol negara.
Namun, Bivitri menilai mural tersebut bisa saja melanggar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Tibum). Sanksi yang dikenakan pun minim, yaitu maksimal denda Rp 50 juta.
"Jadi kalau melanggar Perda, silakan dihapus, silakan denda. Cukup, tidak usah diburu," ujar dia. Ia pun menilai, semestinya penyelenggara negara memberikan hak konstitusional berupa kebebasan berekspresi.
Sementara, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menilai tindakan penghapusan mural tersebut merupakan bukti nyata kemunduran demokrasi. Hal ini ditandai dengan ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat yang terus menyempit serta pemerintah bersikap anti kritik.
Mural dan grafiti yang berisi kritik terhadap pemerintah merupakan bentuk ekspresi dan aspirasi yang disampaikan lewat seni dan dijamin serta dilindungi Undang-undang Dasar (UUD) 1945, Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 tahun 2005, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
"Sehingga tidak dapat dibatasi dan dihapus secara serampangan," demikian tertulis dalam keterangan LBH Jakarta.
Oleh karena itu, penghapusan dan ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat pembuat mural dan grafiti merupakan tindakan represi dan pembungkaman terhadap ekspresi dan aspirasi masyarakat. LBH Jakarta pun menilai tidak ada alasan pembenar yang dapat dijadikan argumentasi untuk menghapus dan menangkap pembuat mural.
"Karena Pembatasan Kebebasan Berekspresi harus didasarkan pada ketentuan undang-undang, untuk melindungi Kepentingan Publik, Keamanan Nasional, Melindungi hak orang lain serta untuk tujuan yang sah," tulis LBH Jakarta.