Lewat PMN PT KAI, APBN Dipakai untuk Dua Kebutuhan Proyek Kereta Cepat
Presiden Joko Widodo (Jokowi) merestui penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mendanai proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung. Proyek kerja sama dengan Cina ini tengah menghadapi sorotan karena biaya pembangunannya membengkak US$ 1,9 miliar atau setara Rp 27 triliun.
Kementerian Keuangan mengatakan bentuk dukungan yang akan diberikan pemerintah melalui APBN berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) dan penjaminan kewajiban. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 yang diteken Jokowi pada 6 Oktober lalu.
Bantuan APBN untuk proyek tersebut hanya akan diberikan kepada pimpinan konsorsium yakni PT Kereta Api Indonesia (KAI). Konsorsium proyek ini juga melibatkan tiga perusahaan pelat merah lainnya yakni, PT PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.
"Kebutuhan dukungan pemerintah dalam menyelesaikan proyek KCJB adalah untuk pemenuhan base equity (modal dasar) dan cost overrun (pembengkakan biaya)," kata Direktur Hukum dan Humas Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Tri Wahyuningsih Retno Mulyani dalam keterangan tertulisnya kepada Katadata.co.id, Senin (11/10).
Sedngkan besaran bantuan pendanaan tersebut masih belum ditentukan lantaran harus melewati kajian oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). "Khusus untuk memenuhi kebutuhan cost overrun, penentuan besaran dukungan yang diberikan harus melalui review BPKP terlebih dahulu dan diputuskan oleh Komite yang diketuai oleh Menko Maritim dan Investasi Luhut B. Pandjaitan," kata Tri.
Meski demikian, belum ada penjelasan dari Istana Kepresidenan alasan utama Jokowi memberikan lampu hijau uang negara untuk menyelesaikan proyek ini. Baik Juru Bicara Kepresidenan Fadjroel Rachman dan Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta meminta hal tersebut ditanyakan kepada Kementerian Keuangan atau Kemenko Kemaritiman dan Investasi.
"Coba komunikasi dengan Kepala Badan Kebijakan Fiskal atau Kemenko Marves," kata Arif kepada Katadata.co.id, Senin (11/10).
Sebelumnya Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Arya Sinulingga mengatakan, injeksi untuk proyek tersebut akan didahului dengan audit BPKP. Hasil audit itu yang nantinya menentukan berapa besaran dana tambahan yang akan dikucurkan ke proyek tersebut.
Tambahan pendanaan lantaran proyek tterkendala masalah lahan dan perubahan desain karena kondisi geografis dan geologis. Tanpa ada hasil audit maka penambahan dana proyek tidak bisa dilakukan.
Arya memperkirakan, proses audit akan selesai pada Desember mendatang. “Kami minta audit dulu, baru ditetapkan berapa angka yang dibutuhkan untuk menyelesaikan KCIC,” kata Arya dalam keterangannya, Minggu (10/10).
Sebelumnya Arya sebelumnya menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan biaya proyek tersebut membengkak. Pertama, penyelesaian proyek terkendala Covid-19. Kedua, pandemi juga menganggu arus kas para perusahaan konsorsium proyek ini, terutama PT KAI yang mengalami penurunan jumlah penumpang.
Ketiga, perkembangan desain dan geografis selama pembangunan proyek turut memicu pembengkakan biaya. Arya menekankan bahwa hampir semua negara mengalami hal serupa dalam pembangunan kereta cepat, khususnya untuk langkah pertama.
Keempat, kenaikan harga tanah. "Seiring waktu ada kenaikan-kenaikan, dan itu wajar terjadi, yang membuat pembengkakan dana anggaran," kata Arya.
Estimasi awal menunjukkan kebutuhan dana untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung diketahui sebesar US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 86,3 triliun. Namun dalam rapat dengar pendapat antara Komisi VI DPR dengan PT KAI diketahui, biaya yang dibutuhkan membengkak Rp 1,9 miliar atau lebih dari Rp 27 triliun, sehingga menjadi US$ 8 miliar atau sekitar Rp 114 triliun.
Estimasi kenaikan biaya tersebut berdasarkan perhitungan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang merupakan konsorsium pengerjaan proyek tersebut. Kenaikan biaya terbesar berasal dari anggaran untuk engineering, procurement and construction (EPC) yang mencapai US$ 600 juta sampai US$ 1,2 miliar.