Perjalanan UU Cipta Kerja, Gonta-ganti Halaman hingga MK Minta Revisi
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus merevisi Undang-Undang Cipta Kerja dalam dua tahun ke depan. Mereka beralasan UU tersebut cacat formil karena tidak sesuai dengan tata cara pembentukan undang-undang.
Sejak awal pembentukan UU ini memang dilakukan secara kilat dan kerap terjadi perubahan lampiran meski telah disepakati rapat paripurna dewan. Naskah UU yang disahkan pada 5 Oktober 2020 lalu awalnya terdiri dari 905 halaman tapi langsung diubah menjadi 1.028. Perubahan itu karena DPR mengubah penggunaan kata “paling banyak” menjadi “paling sedikit”.
Namun, sepekan setelah pengesahan, naskah Omnibus Law ini kembali bertambah jadi 1.035 halaman dan diserahkan ke Presiden Joko Widodo.
Penambahan ini salah satunya karena menambahkan satu ayat pada Pasal 69. Meski demikian, sehari kemudian beredar pula naskah UU Cipta Kerja yang kali ini hanya berisi 812 halaman.
Pada draft ini, terdapat 488 halaman yang berupa UU dan sisanya termasuk bagian penjelasan. Wakil Ketua DPR saat itu yakni Azis Syamsuddin beralasan perubahan naskah UU Cipta Kerja ini adalah akibat proses perbaikan tulisan, termasuk format huruf yang dipakai.
Setelah naskah sepanjang 812 diklaim sebagai naskah final, perubahan kembali terjadi pada Rabu, 21 Oktober. Di sini, naskah tersebut akhirnya bertambah lagi menjadi 1.187 halaman dan disertai perubahan substansi.
Salah satunya Pasal 46 UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dihapus dari naskah ini. Pasal ini menjelaskan Badan Pengatur yang bertugas mengatur distribusi, mengawasi cadangan migas, dan tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa.
Tak hanya bergonta-ganti halaman, kekeliruan frasa dalam beleid UU Cipta Kerja juga sempat terlihat meski telah diteken Jokowi. Salah satu yang menjadi sorotan adalah Pasal 6 yang membahas peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha.
Pasal tersebut merujuk Pasal 5 ayat 1 huruf a dari bab sebelumnya. Masalahnya, Pasal 5 hanya berdiri tunggal tanpa penjelasan dalam ayat dan huruf.
Meski demikian, Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan kesalahan hanya terjadi dalam tataran adminsitratif dan bukan substansi. Dia juga mengatakan kekeliruan ini menjadi masukan pemerintah dalam mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) ke depannya. “Agar kesalahan teknis seperti ini tak terjadi lagi,” ujarnya pada November 2020 lalu.
Sedangkan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra menilai UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan cara meniru omnibus law di Amerika dan Kanada itu dapat bermasalah. Hal ini lantaran seluruh ketentuan perundangan di Indonesia harus tunduk pada UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Oleh sebab itu ia menyarankan Jokowi melakukan dua hal untuk memperbaiki UU Cipta Kerja sesuai tenggat. Pertama, memperkuat Kementerian Hukum dan HAM sebagai law center dan memimpin revisi UU tersebut. Kedua, pemerintah dapat segera membentuk Kementerian Legislasi Nasional yang bertugas menata, mensinkronisasi, dan merapikan semua peraturan perundang-undangan dari pusat sampai ke daerah.
Penyumbang bahan: Amartya Kejora (magang)