Pemerintah Diminta Atur Insentif untuk Perbanyak Dokter Spesialis
Kolegium Kedokteran Indonesia atau KKI mendorong pemerintah membuat peraturan turunan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Ini terkait teknis pemberian insentif demi meningkatkan minat peserta pendidikan dokter spesialis.
Ketua Majelis KKI Setyo Widi Nugroho mengatakan saat ini rumah sakit belum bisa memberikan insentif kepada peserta pendidikan spesialis atau dokter residen. Pemberian insentif tersebut dapat menjadi temuan pelanggaran oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lantaran tidak ada aturan turunan yang diterbitkan Kementerian Kesehatan maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Peraturan turunan tersebut harusnya berbentuk keputusan bersama antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan karena dokter residen bekerja di rumah sakit. Kami sedang mencoba mendorong, ini belum jadi pemikiran bersama," kata Widi di Jakarta, Selasa (13/12).
Widi mengusulkan dokter residen mendapatkan insentif yang sama dengan asisten dokter spesialis, yakni 30% dari biaya jasa medis. Menurutnya, insentif tersebut dapat meringankan biaya pendidikan spesialis yang diemban dokter spesialis.
Akan tetapi, Widi menyampaikan pengaturan teknis insentif tersebut tidak dimasukkan dalam revisi UU Pendidikan Kedokteran yang masih dibahas oleh DPR. Padahal menurutnya, aturan teknis tersebut dapat menyelesaikan isu kekurangan jumlah dokter spesialis yang dikemukakan oleh Kementerian Kesehatan.
Widi menyarankan agar pekerjaan dokter residen bisa dimasukkan dalam daftar biaya yang dilaporkan rumah sakit dalam Indonesian Case Based Group atau INA CBGs. Artinya, sumber dana untuk insentif dokter residen diusulkan berasal dari BPJS Kesehatan.
Maksimalkan Jaringan Rumah Sakit
KKI juga telah menaikkan rasio dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis atau PPDS sebanyak 66,66%. Peningkatan rasio tersebut dilakukan melalui penerapan sistem pendidikan academic hospital system atau AHS.
Saat ini satu dosen dokter PPDS dapat mengajar 5 mahasiswa dokter spesialis. Angka tersebut naik hampir dua kali lipat dari rasio sebelumnya, yakni 1:3.
"Mulai di semua program studi spesialisasi seluruh Fakultas Kedokteran sudah menaikkan penerimaan dokter residen itu, sehingga produksinya akan diakselerasi," kata Widi yang juga Ketua Program Studi Spesialis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.
Widi menjelaskan AHS berbeda dengan sistem pendidikan dokter spesialis berbasis universitas maupun rumah sakit. Dalam AHS, rumah sakit mitra universitas dapat mengirim dokter residen ke rumah sakit lain yang masuk dalam jaringan.
Dia mencontohkan rumah sakit yang bermitra dengan FK UI adalah Rumah Sakit Universitas Indonesia. Adapun, Rumah Sakit UI bermitra dengab sembilan rumah sakit pendidikan di Jabodetabek, salah satunya Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo atau RSCM.
Awalnya, seluruh dokter residen di FK UI akan belajar di Rumah Sakit UI. Namun Rumah Sakit UI dapat mengirimkan dokter residen ke RSCM jika kapasitas dokter residen telah penuh.
"Supaya baik, kami harus membekali rumah sakit dalam jaringan dengan ilmu mendidik agar dokter-dokter di rumah sakit jaringan jadi dosen," kata Widi.
Kurikulum dalam sistem AHS tetap mengacu kepada World Federation of Medical Education. Akan tetapi, sistem AHS mengadopsi proses pengajaran pendidikan berbasis rumah sakit yang ada di Benua Eropa.
Kementerian Kesehatan atau Kemenkes menilai sistem AHS dapat mengejar rasio kebutuhan dokter di dalam negeri, yakni 1:1.000 orang. Hal ini dinilai penting lantaran angka produksi dokter spesialis nasional dinilai kurang.