Tahun baru 2018 menandai berhenti cetaknya majalah musik Rolling Stone dan FHM Indonesia. Sebelumnya, majalah gaya hidup lain memang harus berusaha keras untuk sekadar bertahan hidup.
Dosen Universitas Telkom Idhar Resmadi mengungkapkan, kebangkrutan sebuah media adalah masalah yang kompleks. “Majalah gaya hidup berguguran bisa jadi karena banyak alasan; iklan, internet, hingga manajemen,” kata Idhar kepada Katadata, Kamis (4/1).
Menurutnya, ongkos operasional majalah gaya hidup cukup besar. Terlebih, model bisnis franchise yang diusung oleh media gaya hidup di Indonesia seperti FHM dan Rolling Stone Indonesia. Sebab, mereka harus membayar mahal penggunaan namanya pada pemilik franchise di luar negeri.
Idhar juga menjelaskan, media gaya hidup menawarkan kebutuhan tersier bagi masyarakat sehingga target pasarnya terlalu tersegmentasi. “Persoalannya kompleks karena menyangkut juga ke budaya literasi,” tuturnya.
Ia juga menjelaskan, aktualisasi diri generasi millenials jaman sekarang terbentuk lewat sosial media, tidak lagi melalui majalah. Lewat sosial media pula, para selebritis, yang sebelumnya memerlukan publikasi lewat media cetak, kini bisa langsung menyapa penggemar mereka.
Tercermin lewat survei Nielsen Indonesia yang menyebutkan masyarakat yang membaca media cetak pun didominasi oleh orang-orang berusia 20-49 tahun dengan porsi sebanyak 73%.
Hanya 10% anak muda berusia 10-19 tahun yang mengakses media cetak sebagai sumber informasinya. Sebaliknya, sebanyak 17% anak muda memperoleh informasi lewat internet. Sehingga, generasi muda merupakan sasaran pasar di masa depan.
Meski begitu, Idhar menuturkan iklan bukan penyebab signifikan matinya bisnis media cetak majalah gaya hidup. Alasannya, media digital juga belum bisa mengandalkan iklan untuk meraup keuntungan.
Tak hanya jumlah pembaca, pengeluaran iklan untuk media cetak pun berkurang. Pada Januari-September 2017, jumlah belanja iklan media cetak Rp 21,8 triliun, berkurang 13% dibanding periode yang sama pada 2013 yakni Rp 25 triliun.
Selain itu, produsen media cetak juga berkurang sebesar 23%. Nielsen mencatat ada 268 media cetak pada 2013, namun merosot tajam menjadi hanya 192 media hingga November 2017. Namun, angka itu dipengaruhi oleh penurunan jumlah produsen tabloid dan majalah yang berkurang sebanyak 92 unit.
Menurut Idhar, media digital juga masih belum menemukan model bisnis yang tepat untuk menjaga keberlangsungan. Banyak skema yng masih digali seperti promosi berbayar, banner, atau pay per click.
(Baca juga: Konten, Waktu hingga Media, Kunci Cuitan Viral di Twitter)
Nielsen juga mengungkapkan porsi belanja iklan terbesar masih untuk media televisi. “Media digital di dunia internet juga harus bersaing kue iklan dengan sosial media, game, aplikasi,” jelas Idhar.
Per 1 Januari 2018, PT a&e Media mengumumkan Rolling Stone Indonesia tidak akan lagi beroperasi di Indonesia. “Kami tidak memegang lisensi majalah Rolling Stone Indonesia dan situs Rolling Stone Indonesia untuk beroperasi di wilayah Indonesia,” bunyi keterangan resmi yang tersiar di situs Rolling Stone Indonesia.
Segala kepemilikan merek di bawah Rolling Stone Indonesia atau yang terhubung dengan Rolling Stone Indonesia telah dikembalikan kepada pemilik merek Rolling Stone di New York, Amerika Serikat, dan Rolling Stone International.
FHM Indonesia juga mengumumkan edisi Desember 2017 merupakan edisi terakhir. Tren media cetak tentang gaya hidup yang gulung tikar juga didahului oleh Fitness for Men Indonesia, Auto Bild Indonesia, Esquire Indonesia, dan Hai. Beberapa titel majalah di bawah naungan Femina Group juga berhenti dicetak.
(Baca juga: Tak Hanya Cicil Gaji Karyawan, Femina juga Akan Jual Aset)