Pembeli Properti Elite di Pulau Reklamasi Jakarta Gugat Pengembang

Arief Kamaludin|KATADATA
Pembangunan di lokasi reklamasi Pulau C-D, di Kawasan Pantai Indah Kapuk, Jakarta, Rabu, (04/05/2016)
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
21/12/2017, 14.34 WIB

Sembilan konsumen pembeli properti di atas lahan reklamasi Teluk Jakarta menggugat pengembang Pulau C dan D, PT Kapuk Naga Indah (PT KNI). Sembilan konsumen meminta pengembang mengembalikan uang cicilan yang telah dibayarkan dengan total nilai sebesar Rp 36,7 miliar.  

Para konsumen ini menggugat anak perusahaan milik Agung Sedayu ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) DKI Jakarta. Mereka meminta BPSK agar memerintahkan PT KNI mengembalikan uang cicilan dan booking fee yang telah disetorkan atas pembelian 11 unit properti “Golf Island”.

Golf Island merupakan proyek properti elite yang menghubungkan antara Pulau C,D dan Pantai Indah Kapuk. Rumah yang dibangun ditawarkan dengan harga sekitar Rp 2-9 miliar per unit. Sementara rumah kantor yang menghadap pantai mencapai Rp 11 miliar per unit. 

Dalam gugatan yang dilayangkan ke BPSK, konsumen juga meminta agar PT KNI tidak meneruskan penerimaan cicilan pembayaran dari konsumen. Permohonan gugatan dilayangkan ke BPSK sejak 27 September 2017 dan saat ini sedang dalam proses sidang. 

(Baca: Tarik Dua Raperda, Anies Dinilai Serius Hentikan Reklamasi Jakarta)

Para konsumen mengajukan gugatan tersebut karena pembangunan proyek “Golf Island” yang dikembangkan PT KNI dalam kondisi ketidakpastian. Alasannya, saat ini PT KNI masih harus menunggu Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara DKI Jakarta sebelum dapat melakukan pembangunan.

“Dengan demikian pembangunan tersebut masih mengandung janji yang belum pasti,” begitu tulisan dalam surat gugatan yang diterima Katadata beberapa waktu lalu.

Sebelum mengajukan gugatan, para konsumen telah mengirimkan surat somasi kepada PT KNI untuk mengembalikan cicilan yang telah mereka bayarkan, pada 10 Agustus 2017. Setelah mengirimkan surat somasi, para penggugat bertemu dengan PT KNI pada 21 Agustus 2017.

Setelah pertemuan tersebut, PT KNI menolak mengembalikan dana cicilan dengan alasan adanya suatu perubahan kebijakan yang dianggap sebagai keadaan di luar kekuasaan (force majeure). Hal itu tertuang dalam surat Tanggapan Somasi & Pertemuan Nomor 134/LGLDS&</KNI/VIII/17 tertanggal 30 Agustus 2017.

(Baca: Anies Tarik Raperda Tata Ruang Reklamasi untuk Dikaji Ulang)

Para penggugat menilai alasan force majeure yang digunakan PT KNI tidak berdasar. Pasalnya, mereka menilai jika hal tersebut terjadi akibat pelanggaran yang dilakukan oleh PT KNI.

Kemudian, PT KNI dalam surat tertanggal 18 September 2017 meminta kepada para konsumen untuk melanjutkan kembali pembayaran cicilan yang sempat tertunda akibat moratorium reklamasi. PT KNI mendasarkan permintaan tersebut dengan klaim bahwa pembangunan akan berjalan lancar lantaran telah memiliki izin.

Ketika itu, PT KNI telah mengantongi Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dan Hak Guna Bangunan (HGB) untuk Pulau C dan D.

Sebaliknya, para konsumen menganggap permintaan cicilan PT KNI telah memenuhi perbuatan yang dilarang oleh pelaku usaha sebagaimana Pasal 9 Ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

(Baca: Tim Sinkronisasi Anies Usul Hentikan Reklamasi Lewat Revisi Raperda)

Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau seolah-olah menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

Karenanya, PT KNI dinilai dilarang memperdagangkan barang atau meneruskan untuk menerima cicilan pembayaran maupun memasarkan barangnya.

“Unit rumah maupun rukan tersebut belum mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan karena terbenturnya Rancangan Peraturan Daerah mengenai Tata Ruang,” bunyi gugatan yang diajukan konsumen.

Konsumen juga mempertimbangkan proses politik dalam pembahasan Raperda antara Pemrpov DKI Jakarta dan DPRD yang akan memakan waktu panjang, Alhasil, ini menyebabkan ketidakpastian pembangunan pada unit properti yang telah dibeli sebagaimana Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 9 ayat (2), ayat (3) UU Perlindungan Konsumen.

Menurut sejumlah konsumen tersebut, ketidakpastian atas ketepatan waktu pembangunan unit properti itu membuat mereka berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi, maupun pengembalian uang yang telah dibayarkan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU Perlindungan Konsumen.

Dengan ketidakpastian dan ketidaknyamanan tersebut, mereka juga menilai pengembang telah melanggar hak konsumen. Mereka pun mengklaim memiliki hak untuk mendapatkan pengembalian uang atas cicilan pembelian properti yang belum mereka terima.

“Hak tersebut diatur dalam Pasal 4 huruf a dan h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,” bunyi surat gugatan.

Atas gugatan yang dilayangkan sembilan konsumen terhadap PT KNI tersebut, Katadata telah menghubungi kuasa hukum PT KNI, Kresna Wasedanto melalui pesan singkat. Namun, hingga berita ini diturunkan belum ada balasan dari Kresna.

 (Baca juga: Soal Reklamasi, Prabowo Ingatkan Anies-Sandi Akomodasi Pengusaha)