Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah daerah melibatkan pengusaha dalam membahas rancangan peraturan daerah (perda) yang berkaitan dengan bisnis dan ekonomi. Langkah ini dinilai penting dalam upaya mencegah munculnya perda penghambat investasi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganulir kewenangan pemerintah pusat (Menteri Dalam Negeri), pemerintah tingkat provinsi maupun kabupaten dalam pembatalan peraturan daerah.
Direktur Eksekutif Apindo P Agung Pambudhi mengatakan, setelah pencabutan kewenangan pemerintah dalam membatalkan perda, yang dapat dilakukan adalah mencegah lahirnya perda yang bermasalah dengan iklim investasi. “Selain tentunya harus ada upaya peningkatan kapasitas aparatur pemerintah daerah dan pengusaha dalam memahami regulasi yang berpotensi mengganggu iklim investasi,” katanya dalam konferensi pers di Ruang DPN APINDO, Selasa (20/6). (Baca: Tak Bisa Lagi Cabut Perda, Jokowi Tetap Dorong Deregulasi)
MK mengabulkan uji materi Nomor 56/PUU-XIV/2016 terkait pembatalan perda oleh gubernur dan menteri, pada 14 Juni lalu. Pemohon mengajukan uji materi terhadap Pasal 251 Ayat 1, 2, 7 dan 8 UU Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga dengan adanya putusan MK ini, maka menteri dalam negeri dan gubernur tidak lagi bisa mencabut perda provinsi.
Sebelumnya MK juga mengabulkan permohonan Nomor 137/PUU-XIII/2015 yang diterbitkan pada 5 April 2017 lalu. Dalam putusan ini, kewenangan kabupaten/kota dalam mencabut peraturan daerah dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Agung yang juga menjabat Ketua Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyesalkan dua putusan MK tersebut, namun dia tetap menerimanya sebagai putusan final. Dia berpendapat, seharusnya hakim MK sebelum membuat keputusan mempertimbangkan aspek di luar legalistik formal.
“Kondisinya kini seolah aktivitas perekonomian kita tidak lagi berskala nasional melainkan terpenggal-penggal pada beberapa wilayah, tidak ada kesatuan wilayah ekonomi karena otoritas pusat di daerah kini lenyap (dalam hal pembatalan perda penghambat investasi),” ungkapnya.
Berdasarkan kajian KPPOD terhadap 1.082 dari 5.560 perda, sebanyak 547 perda dinilai bermasalah. Perda bermasalah terkait standar waktu, biaya dan prosedur; relevansi acuan yuridis serta hak dan wajib pungut. (Baca: Tiga Aturan Baru Pertambangan Digugat ke Mahkamah Agung)
Peneliti KPPOD M Yudha Prawira, menyebut, salah satu persoalan mengenai pungutan tidak resmi, misalnya, terkait pengurusan dokumen Surat Keterangan Domisili Usaha (SKDU). Dokumen ini menjadi prasyarat pendaftaran PT di Kementerian Hukum dan HAM (seperti yang diberlakukan di Surabaya), penerbitan NPWP usaha (Balikpapan, Medan, dan Jakarta), dan pengurusan surat izin gangguan/HO (Makassar).
Untuk mendapatkan dokumen yang pengurusannya di tingkat kelurahan/desa ini, pelaku usaha di Makasar, harus merogoh kocek hingga Rp 1 juta. “Padahal SKDU ini tidak ada aturan yang jelas,” katanya. (Baca: Pemerintah Hapus 3.143 Perda Bermasalah)