Di banyak wilayah adat, konflik antara masyarakat adat dan perusahaan masih terjadi. Tak terkecuali di desa-desa adat di sekitar Danau Toba, Sumatra Selatan. Di antaranya Desa Sihaporas, Desa Matio, Desa Napa, Desa Ranggigit, dan Desa Parmonongan. Sejak 1992 hingga sekarang, Masyarakat adat harus berhadapan dengan perusahaan yang mengalihfungsikan lahan yang sudah turun temurun mereka kelola menjadi perkebunan untuk industri pulp dan kertas.
Akibatnya, mata pencaharian masyarakat adat terganggu dan ritual adat pun tak bisa dilakukan seperti sebelumnya. Di antara masyarakat adat yang melawan, terdapat barisan pemuda adat. Menurut Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara, Jacob Siringoringo, pemuda adat merupakan garda terdepan dalam mempertahankan wilayah adat.
“Berangkat dari kesadaran untuk berjuang demi hak hidup dan masa depan. Kalau ada orang datang memancing perlawanan, harus kita hentikan,” ujarnya.
Konflik alih fungsi lahan tidak hanya terjadi di Sumatra Utara, tapi dari ujung timur sampai ujung barat Indonesia. Perbedaannya, menurut Jacob, pihak yang berkonflik saja yang berbeda, ada yang menghadapi perusahaan sawit, tambang, atau pulp dan kertas, dan lain-lain.
Sebelum 2012, gerakan perlawanan dilakukan secara sporadis; kewilayahan, teritori, dari kampung ke kampung. Melihat signifikansi gerakan yang dilakukan, Abdon Nababan yang kala itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengusulkan pembentukan organisasi sayap AMAN khusus untuk pemuda adat. Organisasi tersebut diberi nama Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) yang berdiri pada 2012.
Selain untuk mengkoordinasikan gerakan perlawanan di berbagai wilayah, BPAN dibentuk sebagai penempaan generasi penerus. Agar para pemuda adat belajar berorganisasi, menimba pengalaman untuk memimpin masyarakat adat dalam lingkup yang lebih luas.
Persoalannya, jumlah pemuda di kampung adat berkurang secara signifikan setiap tahunnya. Banyak dari pemuda adat memilih untuk merantau ke kota, melanjutkan sekolah atau mencari kerja. Adapun kondisi di kampung masih sama saja, konflik dengan perusahaan masih saja ada.
Dibutuhkannya kehadiran pemuda, menurut Jacob, bukan hanya karena kekuatan fisik. Tapi lebih dari itu, karena pemuda dekat dengan teknologi, bisa mencari informasi, dan menyebarkan berita ke khalayak luas tentang sesuatu yang sedang terjadi di wilayahnya.
Oleh karenanya, BPAN membuat Gerakan Pemuda Pulang Kampung, memanggil pemuda adat untuk pulang kampung baik secara fisik maupun pemikiran. “Kalaupun pemuda harus keluar kota untuk belajar atau bekerja, mereka tetap bisa berkontribusi dengan ide-ide cemerlang untuk menjaga dan membangun kampungnya,” ujar Jacob.
BPAN juga membangun forum diskusi, mengajak pemuda melihat kondisi kampungnya. Kemudian dibuatlah sekolah adat. Di dalamnya mempelajari budaya, sejarah, konflik yang sedang terjadi, juga potensi yang kemungkinan muncul.
Sekolah adat pertama didirikan di Desa Landak, Kalimantan Barat. Kini, per Maret 2021, sudah ada 78 sekolah adat yang tersebar di seluruh nusantara. Selain itu, kegiatan berkebun dan bertani juga masuk dalam program BPAN.
Dengan kondisi masih rentannya peminggiran hak atas tanah dan hak-hak lainnya yang dialami masyarakat adat, adanya payung hukum yang bisa menaungi hak dan kewajiban masyarakat adat menjadi penting.
Menurut Jacob, seluruh pemuda adat di nusantara menantikan adanya Undang-Undang Masyarakat Adat. Dengan negara mengakui keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak yang melekat padanya, masa depan generasi muda adat pun bisa berlangsung dengan lebih baik. Bisa mewariskan tradisi bercocok tanam, pengetahuan mengelola sumber daya alam, mengelola wilayah adat, untuk kelangsungan kehidupan.
Hal ini tidak hanya bicara mengenai perut atau ekonomi semata. Indonesia memiliki warisan yang tidak ternilai. Di atas tanah, masyarakat bisa menanam, juga bisa menari. “Antara kebutuhan ekonomi dan budaya menyatu. Antara interaksi sosial dan ekonomi menyatu,” ujar Jacob.