Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menekankan, penetapan harga gas dari sisi hulu selama ini dilakukan berdasarkan kontrak antara penjual dan pembeli. Dengan demikian, perubahan harga jual gas hulu hanya dapat dilakukan melalui peninjauan kembali kontrak yang telah disepakati.
Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher menjelaskan, penetapan harga gas selama ini menyesuaikan dengan nilai keekonomian suatu proyek migas. Saat ini,, rata-rata harga gas dari hulu berkisar US$ 6 per MMBTU dan telah ditetapkan sesuai rencana kerja anggaran (Work Program & Budget/WP&B) dan pengembangan (Plan of Development/POD).
"Biaya pegembangan dan operasi itu semua kami kontrol. Ada WP&B, ada POD," ujar Wisnu saat ditemui di Jakarta, Selasa (5/11).
(Baca:Jokowi Memastikan Harga Gas Industri Tak Akan Naik)
Oleh karena itu, perubahan harga gas tidak bisa serta merta dilakukan secara sepihak. Hal tersebut hanya dapat dilakukan melalui peninjauan kembali kontrak antara penjual dan pembeli.
"Sekali lagi, itu masalah kontrak antara penjual dan pembeli dan di dalam pembahasan itu ada kesepakatan-kesepakatan tertentu. Jadi, kalau ada yang naik, kami lihat dulu, sepakat seperti apa," jelas dia.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo memastikan harga gas industri tak akan naik hingga tahun depan. Ia khawatir pelaku usaha bakal kesulitan meningkatkan produksi jika harga gas mahal.
“Sementara ini saya sampaikan (harga gas industri) tidak naik,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/11).
(Baca:Tekan Harga, Inaplas Dukung Jokowi Bangun Industri Dekat Sumur Gas)
Mantan Wali Kota Solo ini memerintahkan Menteri ESDM Arifin Tasrif untuk mengkaji penyebab tingginya harga gas industri. Ia menduga tingginya harga gas industri bisa saja disebabkan oleh besarnya biaya sewa pipa untuk distribusi.
“Karena data yang saya miliki, harga gas di onshore ini masih berada di posisi normal. Tetapi begitu ditarik ke industri, ditarik ke area-area ekonomi, kok jadi mahal?" ungkap dia.