PT Vale Indonesia Tbk mencatatkan laba bersih pada 2018 sebesar US$ 64,36 juta. Angka itu meningkat dari tahun lalu yang merugi US$ 15,2 juta.
Head of Communications PT Vale Indonesia Bayu Aji Suparam mengatakan kanaikan laba didorong oleh peningkatan harga realisasi nikel pada saat pengiriman. "Kenaikan laba juga karena beberapa efisiensi biaya produksi," kata dia, kepada Katadata.co.id, Senin (4/2).
Adapun, harga realisasi rata-rata pengiriman nikel dalam matte sebesar US$ 10.272 per ton, atau naik dari periode 2017 yaitu US$ 8.106 per ton. Alhasil, penjualan Vale tahun 2018 mencapai US$ 776,9 juta atau meningkat 23% dari periode 2017.
Tahun lalu, Vale juga melakukan penghematan US$ 10,8 juta. Dalam tiga tahun sebenarnya target penghematan bisa mencapai US$ 50 juta.
Sementara itu, kas dan setara kas perseroan pada 31 Desember 2018 sebesar US$ 310,1 juta, atau meningkat US$ 79,5 juta dari saldo 31 Desember 2018. Belanja modal pada 2018 sekitar US$ 99 juta, atau meningkat US$ 68,5 juta dari periode 2017.
Sedangkan, untuk beban pokok pendapatan di 2018 juga mengalami meningkatan menjadi US$ 50,1 juta, atau naik 8% dari US$ 622,8 juta di 2017. Hal ini disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar dan batu bara.
Konsumsi High Sulphur Fuel Oil (HSFE) Vale tahun lalu mencapai 365.457 barel, dengan rata-rata HSFO per barel US$ 75,47. Sedangkan, konsumsi diesel 19.542 per kiloliter, dengan harga rata-rata diesel sebesar US$ 0,71 per liter. Kemudian konsumsi batu bara pada 2018 sebesar 114.998, de
Sebaliknya, produksi nikel Vale pada 2018 memproduksi 74.806 metrik ton nikel dalam matte, atau turun hampir 3% dari produksi 2017 sebesar 76.807 metrik ton. Penurunan ini didorong oleh kandungan rata-rata nikel yang lebih rendah pada 2018 dan dampak dari kegiatan pemeliharaan yang tidak terencana pada kuartal III 2018.
(Baca: Nasib Divestasi Saham Vale: Diminati Inalum, Ditolak Antam)
Tahun 2018 Vale, menerima izin eksplorasi untuk Blok Sorowako, Bahadopi dan Pomalaa. Selain itu, perseroan juga menerima izin eksploitasi untuk Blok Sorowako, yang mengharuskan perusahaan membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kehutanan sebesar US$ 149 per metrik ton