Fitch Rating ikut menyoroti kebijakan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini. Bahkan lembaga pemeringkat utang itu menilai rating PT Pertamina (Persero) terancam memburuk jika tidak ada perubahan dari segi kebijakan.
Dalam keterangan resminya yang dipublikasikan hari ini, Selasa (16/10), Fitch menyebut kebijakan menunda kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar dan Premium membuat tekanan profitabilitas Pertamina dalam 12 bulan ke depan. Ini karena perusahaan pelat merah itu akan menderita kerugian secara terus menerus dalam penjualan BBM.
Seperti diketahui, pemerintah membatalkan rencana kenaikan harga Premium dan Solar dalam hitungan jam setelah diumumkan pada 10 Oktober 2018 lalu. Menurut Fitch itu menandakan harga BBM sangat sensitif secara politik di Indonesia.
Atas dasar itu, Fitch menilai, kenaikan harga BBM yang diatur pemerintah, seperti Solar dan Premium akan sangat sulit secara politis sampai pemilihan umum April 2019. Padahal, sejak 2015, pemerintah mengeluarkan aturan yang menghapus subsidi untuk Premium. Subsidi hanya diberikan untuk Solar.
Akan tetapi, sejak 2016, harga kedua komoditas tersebut tak berubah, meskipun kurs melemah dan harga minyak mentah naik. Alhasil, Pertamina yang memberikan subsidi implisit kepada konsumen.
Sebagai kompensasi, pemerintah memang menambah subsidi Solar menjadi Rp 2.000 per liter dari sebelumnya Rp 500 per liter. Perubahan itu berlaku sejak awal 2018. Namun, Fitch memperkirakan harga Premium dan Solar yang dijual Pertamina ditambah subsidi masih 60% hingga 75% dari harga pasar.
Fitch juga memperkirakan dana talangan yang akan diganti pemerintah semester II 2018 akan besar dari periode sebelumnya karena harga minyak naik. Adapun, tahun 2017 dana talangan yang harus diganti pemerintah itu mencapai US$ 2 miliar dan semester I tahun 2018 mencapai US$ 1,2 miliar.
Kondisi itu diperparah lagi dengan kenaikan harga BBM nonsubsidi. Perbedaan harga BBM nonsubsidi dengan yang diatur pemerintah seperti Premium bisa menambah kerugian di hilir. Ini karena akan ada peralihan konsumsi.
Keuntungan dari sektor hulu akibat kenaikan harga minyak ini juga hanya menyelamatkan kerugian hilir dalam jangka pendek. Fitch memperkirakan EBITDA Pertamina tanpa dampak konsolidasi PT Perusahaan Gas Negara (PGN) akan turun di bawah US$ 6 miliar selama 2018. Padahal, tahun 2017 bisa mencapai US$ 6,9 miliar.
Itu akan berdampak juga pada peringkat utang Pertamina. “Profil kredit mandiri Pertamina dari 'BBB-' dapat melemah jika tidak ada peningkatan profitabilitas hilir, terutama mengingat program ekspansi besar. Arus kas operasional yang lemah cenderung menghasilkan pendanaan utang yang lebih tinggi dari investasinya, itu mengecilkan metrik kredit,” dikutip dari siaran pers Fitch, Selasa (16/10).
(Baca: Tiga Penyebab Jokowi Menunda Kenaikan Harga Premium)
Seperti diketahui, level BBB- adalah yang terendah dalam status layak investasi. Jika, rating itu diturunkan, Pertamina bisa menjadi tak layak investasi.
Fitch juga menilai dalam jangka menengah, penugasan dari pemerintah kepada Pertamina atas blok yang akan habis kontrak selama 24 bulan terakhir akan memperkuat operasi dan profitabilitas di hulu. Itu bisa mencerminkan dukungan implisit dari pemerintah.
Nantinya, peringkat Pertamina terus disesuaikan dengan Indonesia yang saat ini BBB Stable. Hal ini didasarkan pada penilaian Fitch tentang hubungan yang sangat kuat antara Pertamina dan negara.