PT Pertamina mendapatkan bagi hasil minyak dan gas bumi (migas) lebih besar dari negara di Blok Rokan, Riau. Bagi hasil ini tertuang di dalam syarat dan ketentuan (term and condition) di kontrak baru blok tersebut menggunakan gross split.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan pemerintah memberikan porsi bagi hasil yang berbeda-beda di lapangan yang ada di Blok Rokan. Ini tergantung dari karakteristik minyak dan gas, terbagi atas Lapangan Duri dan non-Duri.
Lapangan Duri menghasilkan minyak heavy oil (minyak berat). Selain itu lapangan Duri juga memiliki proyek teknologi tingkat lanjut (Enhanced Oil Recovery/EOR) injeksi uap (steam flood) sehingga proyek ini tidak sama dengan lapangan yang lain.
Untuk lapangan Duri, Pertamina memperoleh 65 % bagi hasil dari minyak bumi, sisanya pemerintah. Adapun bagi hasil gas bumi untuk lapangan tersebut diberikan 70 % kepada Pertamina dan 30 % pemerintah.
Adapun untuk lapangan non-Duri, Pertamina memperoleh bagi hasil 61 % untuk minyak, dan 39 % pemerintah. Sementara gas, Pertamina memperoleh 66 % dan pemerintah 34 %.
Bagi hasil tersebut telah memasukkan komponen dasar dan variabel dalam perhitungan bagi hasil gross split, serta memasukkan penambahan 8 % bagi hasil untuk Pertamina melalui diskresi Menteri ESDM. Namun hitungan bagi hasil itu belum memasukkan komponen progresif pada perhitungan gross split.
Nantinya pemerintah juga menetapkan bagi hasil berbeda untuk Pertamina di Lapangan Minas. Ini ketika proyek EOR injeksi kimia di lapangan itu dituangkan dalam proposal rencana pengembangan (Plan of Development/PoD).
Adapun injeksi kimia itu akan diterapkan Pertamina ketika resmi mengelola Rokan. "Itu PoD baru, split beda lagi," kata Arcandra.
(Baca: Pemerintah Wajibkan Pertamina Bermitra di Blok Rokan)
Kemudian, bonus tanda tangan untuk kontrak Blok Rokan mencapai US$ 783 juta atau Rp 11,3 triliun. Adapun komitmen kerja pasti lima tahun pertama US$ 500 juta atau Rp 7,2 triliun. Lalu, potensi pendapatan negara selama 20 tahun sebesar US$ 57 miliar atau Rp 825 triliun.