PT Bahana Sekuritas memperkirakan harga batu bara sepanjang tahun 2018 mencapai US$ 75 per ton. Angka ini lebih rendah dari Newscastle benchmark yang menyebutkan sepanjang tahun 2018 bisa mencapai US$ 88 per ton, bahkan sempat menyentuh level di atas US$ 100 per ton.
Analis Bahana Andrew Franklin Hotama mengatakan kontraksi itu terjadi karena sejumlah kebijakan dari pemerintah Tiongkok yang merupakan konsumen terbesar batu bara. “Namun level US$ 75 per ton tetaplah angka yang tinggi, mengingat harga komoditas global selama dua tahun terakhir mengalami tekanan yang cukup besar,” kata dia berdasarkan keterangan resminya, dikutip Senin (5/2).
Adapun, kebijakan pemerintah Tiongkok yang dimaksud yakni adanya standar energi terbarukan. Jadi, seluruh Produsen Pembangkit Independen Cina atau IPPs buat batu bara wajib menetapkan 15% dari total pembangkit listrik portofolio untuk energi terbarukan hingga 2020.
Kebijakan itu akan berdampak pada pendapatan perusahaan IPP batu bara khususnya para pemain kecil. Pada 2017 pemain IPP batu bara ini mencetak (Return of Equity/ROE) sekitar 3% hingga 5% karena kenaikan harga batu bara.
Faktor lainnya harga batu bara terkontraksi adalah prediksi tingkat konsumsi Tiongkok tahun ini yang akan sedikit melemah dari tahun lalu sudah tumbuh cukup tinggi. Pemerintah Tiongkok juga akan memperbaiki masalah kelebihan kapasitas terutama pada industri semen dan baja. Ke depan pasar properti di Tiongkok juga diperkirakan akan melambat akibat pengetatan kredit.
Menurut Andrew, jika sistem kontrol ini tidak segera diperbaiki, sisi suplai akan melampaui permintaan. Dengan berbagai risiko ini, Bahana memperkirakan pemerintah Tiongkok akan berupaya membawa harga batubara secara bertahap kekisaran $64 hingga 76 per ton NEWC equivalent. Ini dimulai dengan membatasi impor batu bara setelah 15 Februari atau melakukan program penggantian batu bara.
Meski pengetatan kemungkinan akan dimulai Tiongkok pada tahun ini, harga rata-rata batubara tidak akan terkoreksi cukup dalam. Alhasil, Bahana masih merekomendasikan beli untuk beberapa saham perusahaan yang terkait batu bara, dengan pilihan teratas saham PT Adaro Energy (ADRO), PT Bukit Asam (PTBA) dan saham PT United Tractors (UNTR).
Anak usaha Badan Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) ini bahkan menaikkan target harga ADRO menjadi Rp 2.400 per lembar dari target harga sebelumnya Rp 2.174 per lembar. Kinerja keuangan perseroan diperkirakan masih akan berlanjut positif sepanjang 2018, setelah tahun lalu diperkirakan bakal mencatatkan kenaikan laba bersih per saham (earning per share/EPS) sebesar 64% secara tahunan.
Bahana menilai Adaro mampu menjaga stabilitas produksi meski ada gangguan cuaca seperti hujan deras sepanjang tahun lalu, sehingga target produksi batu bara sebesar 52 juta ton masih tercapai. “Bisnis Adaro lebih beragam dibanding perusahaan lainnya, mulai dari pembangkit listrik hingga bisnis batu bara yang menjadi bisnis fokusnya,'' ujar Andrew.
Selain itu, Bahana menaikkan harga saham PTBA menjadi Rp 2.920 per lembar dari sebelumnya Rp 2.740 per lembar. Namun karena bisnis perseroan lebih kepada pasar domestik, yang didominasi oleh PLN, kinerja perseroan diperkirakan tidak segemilang Adaro.
Penyebabnya, pemerintah sangat konsen untuk menurunkan tarif listrik. Padahal harga batu bara meski diperkirakan terkoreksi, namun masih berada pada level yang tinggi.
Sebagai salah satu pemain yang menyediakan alat berat bagi perusahaan tambang, PT United Tractors Tbk akan mendapat berkah dari prospek batubara kedepan. Ini yang membuat Bahana merekomendasikan beli saham UNTR dengan target harga Rp 39.700 per lembar.
(Baca: Menteri ESDM Wacanakan Ubah Acuan Tarif Listrik Menggunakan Batu Bara)
Penjualan alat berat perseroan diperkirakan mencapai 3.700 - 3.800 unit sepanjang 2017. Tahun ini, Bahana memperkirakan penjualan alat berat perseroan bakal mencapai sekitar 5.000 unit sehingga laba diperkirakan naik sebesar 53% dibandingkan pencapaian 2017.