Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membatalkan impor gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) yang rencananya akan dimulai 2019. Salah satu penyebabnya adalah mulai berproduksinya proyek gas Jangkrik dan beberapa proyek besar yang siap beroperasi.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan sejak berproduksi pertengahan Mei lalu, perkembangan Proyek Jangkrik menunjukkan hasil yang baik. Saat ini produksinya sudah mencapai puncak yakni 450 mmscfd.
Bahkan menurut Wiratmaja, produksi itu bisa meningkat hingga 600 mmscfd. "Kemungkinan tidak impor (2019) karena Eni yang jangkrik bisa sampai 600 mmscfd dan bagus," kata Wiratmaja di Jakarta, Rabu (12/7). (Baca: Dua Bulan Beroperasi, Proyek Gas Jangkrik Capai Puncak Produksi)
Peluang meningkatnya produksi proyek Jangkrik karena ada tambahan dari Lapangan Merakes. Lapangan yang juga dikelola perusahaan migas asal Italia, Eni ini rencananya bisa beroperasi pada 2019 mendatang.
Awalnya, Kementerian ESDM akan memulai mengimpor gas pada 2019. Penyebabnya, jika mengacu neraca gas bumi Indonesia tahun 2016-2035, pasokan gas dari dalam negeri yang hanya 7.651 mmscfd tidak bisa memenuhi permintaan yang mencapai 9.323 mmscfd.
Namun, dengan berproduksinya lapangan Jangkrik, menurut Wirat, neraca gas tersebut akan direvisi tahun ini. "Akhir tahun akan update bukunya. Namanya mungkin bukan neraca tapi mungkin outlook ya. Outlook gas bumi," kata dia.
Selain ada tambahan dari produksi Jangkrik, juga ada beberapa proyek gas yang akan beroperasi pada 2020 seperti Train 3 Tangguh di Papua Barat. Kemudian proyek Blok Masela bisa beroperasi pada 2026.
Alasan lainnya pembatalan impor ini juga karena ada kargo gas yang belum terserap. Tahun ini terdapat 16-18 kargo yang belum terserap dan rencananya akan dijual untuk industri di dalam negeri.
Kargo gas yang tidak terserap ini memang memiliki tren yang terus meningkat. Pada 2014 ada 22 kargo, rinciannya 16 kargo diekspor dan sisanya untuk domestik. Setahun kemudian membengkak jadi 66 kargo, rinciannya 60 kargo diekspor dan 6 kargo untuk dalam negeri. Tahun lalu juga ada 66,6 kargo tidak terserap, rinciannya 43 kargo diekspor dan 23,6 kargo untuk dalam negeri.
Angka tersebut akan terus meningkat hingga 2035 terdapat peningkatan kargo LNG domestik yang tidak terserap dengan rata-rata 50-60 kargo per tahunnya. Pemicunya adalah banyaknya kargo hanya bentuknya komitmen dan belum memiliki kontrak. Jadi mereka bisa membatalkan pembelian gas.
(Baca: Serapan Gas Kurang, PLN Salahkan Penurunan Produksi Migas)
Faktor lainnya adalah peningkatan produksi gas dari hulu, penurunan permintaan dari pembeli, atau adanya pesaing lain yang menawarkan lebih murah dari domestik. “Kami berharap hingga akhir tahun kargo tersebut terserap semua di dalam negeri," kata dia.