Target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo terancam meleset. Penyebabnya adalah impor minyak mentah yang berpotensi membengkak karena menurunnya produksi dalam negeri.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan menurunnya produksi minyak dalam negeri ini akibat rendahnya investasi sehingga kegiatan di sektor hulu menjadi minim. Sejak awal Januari hingga akhir Juni, investasi sektor hulu hanya US$ 3,98 miliar, lebih rendah dibanding tahun lalu di periode yang sama yakni US$ 5,65 miliar.

Salah satu pemicunya rendahnya investasi migas ini menurut Komaidi adalah regulasi yang dibuat pemerintah. "Saat ini dengan adanya beberapa kebijakan seperti gross split tampak menjadi disinsentif. Indikasinya industri tidak merespon dengan baik," kata dia kepada Katadata, Selasa (11/7).

(Baca: Wamen ESDM Pastikan Blok ONWJ Lebih Untung Pakai Gross Split)

Untuk itu perlu adanya dukungan dari pemerintah agar investasi hulu migas bisa bergairah kembali. Caranya bisa dengan memberi kemudahan investasi di sektor migas.

Jika kondisi ini dibiarkan Komaidi tidak yakin target-target di dalam RUEN bisa tercapai. "Dampaknya ada dua kemungkinan, start impor bisa lebih cepat atau lebih besar dari target di RUEN," kata dia kepada Katadata, Selasa (11/7).

Padahal dalam dokumen RUEN, impor minyak mentah diprediksi terus meningkat hingga mencapai 4,6 juta barel per hari (bph) pada 2050. Sebaliknya produksinya semakin turun dan jika tidak ada penambahan produksi, eksplorasi atau kegiatan pengurasan sumur (Enhanced Oil Recovery/EOR) tersisa di bawah 200.000 bph di 2050. Hingga semester I tahun 2017, produksi minyak 808.800 bph.

Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong mengatakan pemerintah harus melakukan usaha yang ekstra untuk menarik minat investor melakukan eksplorasi. Kegiatan eksplorasi ini penting penting supaya produksi tidak turun.

Pemerintah dapat membantu investor dengan mempermudah perizinan. Jika produksi meningkat, ketergantungan impor migas akan semakin berkurang. "Harus ada usaha keras menarik investor. Bukan tidak mungkin, kami harus bisa all out soal itu," kata Marjolijn kepada Katadata, Selasa (11/7).

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Abadi Poernomo mengusulkan delapan cara agar produksi migas tidak turun dan dapat sesuai dengan kebijakan RUEN. Pertama, menerapkan keterbukaan data migas dan tidak menjadikan data migas sebagai obyek Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

(Baca: Demi Pikat Investor, Pemerintah Siap Buka-bukaan Data Migas)

Kedua, melakukan riset dasar eksplorasi migas dalam rangka meningkatkan cadangan migas antara lain riset migas non-konvensional, riset sistem petroleum pra-tersier, riset sistem petroleum gunung api, dan riset gas biogenik. Ketiga, menyiapkan wilayah kerja migas konvensional minimal sembilan blok migas per tahun dan penandatangan blok migas konvensional minimal enam blok per tahun.

Keempat, melakukan survei umum migas minimal tiga wilayah per tahun. Kelima, mengoptimalkan produksi lapangan migas antara lain dengan memberlakukan kontrak bagi hasil khusus untuk kegiatan pengurasan sumur  (Enhanced Oil Recovery/EOR) dan segera memutuskan status kontrak yang akan berakhir pada lapangan-lapangan yang mempunyai potensi EOR. 

Keenam, mempercepat penyelesaian proyek gas bumi, antara lain Blok Sengkang, Blok Matindok, Proyek IDD, Lapangan MDA-MBH, Blok A, Lapangan Jangkrik, Lapangan Jambaran Tiung Biru, Proyek Tangguh Train-3, Lapangan Abadi (Masela), dan Blok East Natuna. Dari beberapa lapangan tersebut sudah ada beberapa yang onstream seperti Jangkrik dan Matindok. 

(Baca: Percepat Proyek Strategis, Pemerintah Kumpulkan Lima Kontraktor Migas)

Ketujuh, meningkatkan rasio pemulihan cadangan migas hingga mencapai 100% pada tahun 2025, dengan meningkatkan kegiatan eksplorasi secara masif menjadi tiga kali lipat. Terakhir, meningkatkan keterlibatan negara dalam pendanaan kegiatan eksplorasi melalui mekanisme pendanaan dari sebagian pendapatan negara dari migas (petroleum fund) yang merupakan bagian dari premi pengurasan (depletion premium) atau dari sumber pendanaan lainnya.