Selama lima bulan pertama tahun ini, PT Pertamina (Persero) ditaksir menanggung kerugian sebesar Rp 9,2 triliun dari penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium penugasan dan Solar subsidi. Penyebabnya, harga jual saat ini lebih rendah dibandingkan harga keekonomian. Demi menekan potensi kerugian, harga jualnya perlu dinaikkan.

Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman mengatakan, hingga akhir kuartal pertama tahun ini, selisih harga keekonomian Solar subsidi sebesar Rp 1.150 per liter dari harga jual saat ini Rp 5.150 per liter. Selisih tersebut sudah memperhitungkan komponen subsidi sebesar Rp 500 per liter.

(Baca: Tertekan Beban Penjualan BBM, Laba Pertamina Anjlok 24,7%)

Adapun, volume konsumsi Solar bersubsidi dari awal tahun hingga Mei lalu mencapai 5,8 juta kiloliter. Jadi, dengan asumsi harga dan konsumsi tersebut, selisih harga jual yang harus ditanggung Pertamina dari penjualan BBM berkadar oktan 48 ini mencapai Rp 6,6 triliun.

Tidak hanya Solar, Pertamina juga harus menderita kerugian dari penjualan Premium. Volume penjualan Premium sejak awla tahun hingga Mei lalu berkisar 5,8 juta kiloliter. Namun, menurut Arief, harga keekonomian BBM berkadar oktan 88 ini sebesar Rp 450 per liter di atas harga jual saat ini.

Pemerintah menetapkan harga Rp 6.450 pe liter untuk Jawa, Madura dan Bali. Alhasil, beban yang harus ditanggung Pertamina dari penjualan Premium selama lima bulan pertama tahun ini mencapai Rp 2,6 triliun. Jika ditotal, potensi kerugian perusahaan pelat merah ini dari penjualan Solar subsidi dan Premium selama januari-Mei 2017 mencapai Rp 9,2 triliun.

Potensi kerugian itu bisa terus membengkak jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM, sementara harga minyak dunia terus meningkat. Hingga Mei 2017, Harga Minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) mencapai US$ 49,50 per barel, atau lebih tinggi dari asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2017 sebesar US$ 45 per barel.

(Baca: RAPBN 2018, Banggar DPR Minta Asumsi Harga Minyak Lebih Tinggi)

Padahal, tahun ini pemerintah menugaskan Pertamina untuk menyalurkan BBM jenis penugasan yakni Premium dengan volume sebesar 12,5 juta kiloliter (kl) dan Solar subsidi 15,7 juta kl. Jadi, jika kondisi ini terus berlanjut dengan asumsi selisih harga yang sama, maka potensi kerugiannya hingga akhir tahun bisa mencapai Rp 23,68 triliun.

Sementara dalam pagu APBN 2017, kuota subsidi untuk solar 16 juta KL dengan anggaran Rp 500 per liter. Tahun depan, kuota tersebut meningkat menjadi 16,53 juta KL.

Penasihat Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan jika pertimbangannya hitungan keekonomian, pemerintah seharusnya sudah menaikkan harga Premium dan Solar subsidi sejak tiga bulan lalu. Apalagi untuk Premium sudah tidak ada subsidi.

Namun, pertimbangan pemerintah tampaknya lebih cenderung politis dan populis sehingga menaikkan harga menjadi sangat sensitif dan dihindari. Menurut Pri, hal itu tidak baik karena mendidik masyarakat kembali terbuai oleh subsidi pemerintah. Padahal, masyarakat sejak 2015 sudah terbiasa dengan penyesuaian harga secara berkala.

Pri khawatir ketika harga minyak lebih tinggi lagi maka pemerintah akan semakin sulit menaikkan harga. Alasannya nilainya akan lebih besar lagi. “Masalah ini sudah bergeser lebih ke arah politis. Pemerintah sendiri yang membuat seperti itu, sehingga menjadi rumit,” ujar dia kepada Katadata, Senin (19/6).          

Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Mandiri Bidang Riset Industri dan Wilayah Dendi Ramdani memperkirakan besaran kenaikan harga premium hanya Rp 400 per liter dengan asumsi ICP US$ 45-US$ 50 per barel. Namun, ia memperkirakanharga minyak mentah untuk tahun ini sekitar US$ 55-US$ 60 per barel.

(Baca: Menko Darmin: Pemerintah Kaji Kenaikan BBM Setelah Lebaran)

Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I.G.N Wiratmaja Puja mengatakan pemerintah sudah menghitung tren harga BBM ke depan, namun ia belum mau menjelaskan hal tersebut.  "Sekarang kan lagi ada minus, nanti suatu hari ada plus, dan diakhir tahun dievaluasi," kata dia beberapa waktu lalu.