Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) berhasil menghemat pengembalian biaya operasi (cost recovery) sebesar US$ 54 juta atau Rp 720 miliar. Alhasil, per 30 April 2017, realisasi cost recovery hanya US$ 3,20 miliar dari target APBN tahun ini US$ 10,49 miliar.
Deputi Pengendalian dan Pengadaan SKK Migas Djoko Siswanto mengatakan penghematan itu terjadi karena ada optimalisasi aset migas. Jadi 80 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang memiliki wilayah kerja produksi membuat perjanjian transfer aset untuk menekan biaya operasi.
(Baca: Deputi Baru SKK Migas Siap Awasi Cost Recovery dan Komponen Lokal)
Dengan adanya perjanjian tersebut, kontraktor tidak perlu melakukan pengadaan baru untuk kegiatan produksinya. Bahkan pembelian barang seharusnya bisa menjadi opsi terakhir yang dipilih kontraktor. Mereka bisa saling menggunakan aset yang sudah ada.
Salah satu contoh transfer aset tersebut menurut Djoko adalah penggunaan teknologi pengurasan sumur minyak (Enhanced Oil Recovery/EOR). Fasilitas injeksi kimia yang selama ini digunakan Chevron Indonesia di Lapangan Minas, Blok Rokan kini bisa dipakai Pertamina.
Selain itu ada juga tranfer aset lainnya seperti fasilitas kompresor untuk menunjang kegiatan operasi migas antar kontraktor. Dengan demikian industri hulu migas diharapkan dapat bekerja lebih cepat dan efisien.
(Baca: Biaya Produksi 48 Kontraktor Migas Mahal, tapi Hasilnya Sedikit)
Djoko mengatakan penghematan yang dilakukan tahun ini lebih besar dibandingkan yang terjadi tahun 2016. Tahun lalu, SKK Migas hanya menghemat biaya sebesar US$ 51 juta. Sementara target tahun ini dan tahun lalu sama yakni US$ 35 juta.
Alokasi Penggunaan Cost Recovery 2016
Capaian tersebut juga didukung harga minyak dunia yang masih relatif rendah. "Sehingga para kontraktor menurut kalau diperintah untuk berhemat, hasilnya sudah melebihi dari target. Semoga akhir tahun ini bisa lebih besar lagi angkanya," kata dia.
Cost recovery memang selalu menjadi sorotan pemerintah. Apalagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selalu menemukan adanya beberapa ketidaksesuaian penganggaran. Salah satu contohnya adalah laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II tahun 2015.
(Baca: BPK Temukan Penyimpangan Cost Recovery ConocoPhillips dan Total)
Pada laporan tersebut, BPK menemukan ada biaya-biaya yang tidak semestinya dibebankan dalam cost recovery pada tujuh wilayah kerja yang dikelola kontraktor. Nilainya mencapai Rp 4 triliun.