Komisi Energi (Komisi VII) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memasukkan bentuk kerja sama hulu minyak dan gas bumi (migas) gross split ke dalam Rancangan Undang-undang Migas yang baru. Namun, pemerintah tetap dapat menerapkan skema anyar tersebut.  

Ketua Komisi Energi DPR Gus Irawan Pasaribu mengatakan, skema gross split tidak tertulis eksplisit agar UU Migas lebih fleksibel dan tidak hanya mengacu pada salah satu kontrak kerja sama. ”Itu sistem saja, tidak tahu ke depan, kalau kami tulis di UU tidak fleksibel kalau nanti ada perubahan," katanya di Gedung MPR/DPR Jakarta, Selasa malam (6/6).

(Baca: Hitung-Hitungan Skema Baru Kontrak Migas Gross Split)

Anggota Komisi VII DPR Harry Poernomo juga berpendapat sama dengan Gus Irawan. Gross split tidak perlu tertulis gamblang karena masuk jenis perjanjian. Bentuk perjanjian di hulu migas ini pun bisa macam-macam.

Sebagai contoh, kontrak karya (KK) yang ada di sektor mineral dan batu bara (minerba). Dalam KK yang selama ini berlaku di Indonesia sudah tercipta beberapa generasi  mulai dari KK generasi 1 hingga KK Generasi 5. "Itu kan tidak diatur di UU, jadi mau diatur pakai apa nantinya terserah ide dari yang lain," kata Harry.

Dalam draft RUU Migas yang salinannya dimiliki Katadata, pembahasan kontrak kerja sama tertuang dalam Pasal 13. Kontrak kerja sama yang dimaksud dalam RUU Migas ialah berbentuk kontrak bagi hasil produksi atau kontrak lain yang lebih menguntungkan negara.

(Baca: Revisi UU Migas, DPR Rancang Badan Usaha Khusus Migas)

Jangka waktu Kontrak Kerja Sama dalam RUU migas maksimal 30 tahun. Dalam hal KKKS mengajukan perpanjangan kontrak, permohonan disampaikan kepada Menteri ESDM paling lambat delapan tahun sebelum masa berakhirnya kontrak kerja sama dan hanya mendapat perpanjangan satu kali paling lama 20 tahun.