Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengklaim harga jual listrik kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN) dari energi baru terbarukan (EBT) masih menarik investor. Hal ini disampaikannya ketika berdiskusi dengan para investor mengenai Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 10 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017.
Menurut Arcandra, saat ini ada investor yang siap menjalankan bisnisnya dengan tarif sesuai Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017. "Siapa bilang tidak ekonomis, sudah ada delapan pengembang katakan ke saya mampu menyesuaikan tarif EBT sesuai Permen 12/2017," kata dia di Jakarta, Selasa (9/5).
(Baca: Jonan Tambah Porsi Energi Baru Terbarukan untuk Proyek Listrik)
Dalam Peraturan Menteri Nomor 12 tahun 2017, harga listrik berbasis EBT mengacu pada Biaya Pokok Penyediaan Pembangkitan (BPP). Menurut Arcandra, dengan formula seperti itu membuat harga lebih adil antara PLN dan pengembang.
Jadi, jika BPP pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat lebih tinggi dari BPP nasional maka PLN membeli listrik hanya 85 persen dari biaya pembangkitan setempat. Sementara jika BPP setempat kurang atau sama dengan BPP Nasional, maka PLN membeli dengan harga 100 persen dari BPP. Skema ini berlaku untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya, Bayu, Air, Biomassa, dan Biogas.
Dengan formula itu, Arcandra menyebutkan, beberapa wilayah yang potensial untuk mengembangkan pembangkit EBT. Daerah tersebut yakni Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Babel, Lampung, Sumsel, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, NTT, NTB, Maluku, Papua.
Alasannya, di wilayah itu harga BPP setempat di atas harga BPP nasional. Rata-rata nasional tahun 2016 mencapai US$ 7,39 sen per Kwh. (Baca: Jonan Gandeng Denmark Buat Peta Potensi Energi Angin di Indonesia)
Di tempat yang sama, Chairman of Legal, Policy Advocacy and Regulation Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butarbutar mengaku belum puas dengan kebijakan tarif EBT tersebut. Alasannya tarif BPP berubah setiap tahun sehingga dapat mengganggu keekonomian proyek.
Di sisi lain, BPP Indonesia bagian barat jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia Timur. "Saya mau tanya bapak, bagaimana caranya harga ini bisa ekonomis?" kata dia.
Menurut Arcandra, perubahan harga BPP tidak signifikan sehingga proyek EBT tetap ekonomis. Rata-rata BPP nasional tahun lalu sebesar US$ 7,39 sen per kwh. Sementara itu pada tahun sebelumnya harganya masih berkisar US$ 7,45 sen per kwh. (Baca: Sulit Kerek Rasio Listrik, Biaya Sambungan di Pelosok Aceh Rp 150 Juta)
Sementara itu, perbedaan tarif BPP di tiap wilayah karena menyesuaikan dengan potensi energi di wilayah setempat. Jadi wilayah Timur dan Barat berbeda.