Perusahaan energi asal Rusia yaitu Rosatom State Atomic Energy Corporation (Rosatom) menyatakan minat untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia. Tawaran kerja sama itu disampaikan melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.
"Ya, semua kan dikaji dulu," ujar Luhut saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta, Selasa (9/5).
Menurut Luhut, masih ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum mengembangkan energi nuklir di Indonesia. Salah satunya adalah melakukan sosialisasi pada masyarakat soal manfaat, efisiensi dan manajemen resikonya.
(Baca juga: Luhut Minta Kajian Desain Awal Blok Masela Selesai Tahun Ini)
“Jadi kalaupun iya (setuju), itu butuh waktu 10 tahun prosesnya. Jadi kami belum tentukan,” kata Luhut usai pertemuan dengan Kirill Kamarov, First Deputy of Rosatom State Atomic Energy Corporation.
Ditemui di tempat yang sama, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan bahwa penerimaan masyarakat adalah faktor utama dalam pengembangan energi nuklir.
Saat ini, menurutnya, pemerintah masih perlu melakukan kajian mendalam soal urgensi energi nuklir. Sementara, beberapa energi alternatif lain masih dapat digunakan. Ia menekankan bahwa energi nuklir masih menjadi opsi terakhir di Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
"Kan kami harus evaluasi tidak hanya murahnya saja. Yang terutama adalah penerimaan publik terhadap nuklir," ujar Arcandra.
(Baca juga: Arcandra Soroti Hambatan Izin Migas di Kementerian LHK)
Arcandra mengatakan bahwa pihak Rosatom telah memetakan daerah yang potensial untuk dibangun infrastruktur berbasis tenaga nuklir. Daerah tersebut adalah Bangka-Belitung, kalimantan Timur, dan Batam.
"Tapi pertanyaannya, kalau Bangka-Belitung atau di Kalimantan Timur permintaannya bagaimana? Kan tidak mungkin bangun nuklir hanya 100 Megawatt, pasti ribuan Megawatt," ujarnya.
Padahal, Anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi mengatakan, DPR mendesak pemerintah memasukan energi nuklir dalam rencana kerja PLN. Alasannya, konsumsi listrik per kapita Indonesia masih jauh di bawah negara-negara lainnya, bahkan di kawasan ASEAN.
(Baca juga: Skema Gross Split Jamin Investor Untung Pakai Produk Lokal)
Menurut Kurtubi, konsumsi listrik per kapita Indonesia hanya sebesar 956 kilo Watt hour (kWh), jauh dibawah Malaysia sebesar 4.400 kWh, Vietnam 1.300 kWh, Thailand 2.300 kWh, dan Cina 3.700 kWh.
Untuk meningkatkan konsumsi listrik ini, juga diperlukan penambahan kapasitas terpasang listrik di Indonesia. Oleh karena itu, Kurtubi menyarankan, pemerintah agar bisa memasukan pembangunan pembangkit nuklir.
Energi nuklir dinilainya murah dan bisa menghasilkan kapasitas listrik yang sangat besar. "Pemerintah harus minta PLN memperbaiki RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan tenaga Listrik) nya. Harus ada energi nuklir di RUPTL," ujar Kurtubi beberapa waktu lalu.