Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan membawa temuan penyimpangan proyek pembangunan pembangkit listrik 10 ribu Megawatt (MW) periode 2006-2015 ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Selain itu, BPK juga akan menyampaikan rekomendasi agar masalah ini bisa diselesaikan.
Ketua BPK Harry Azhar Aziz berencana menemui Jokowi untuk menyampaikan temuan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II tahun 2016 itu pada pekan depan. "Nanti tanggal 17 ini, kami akan bertemu Presiden (Jokowi) untuk menyampaikan apa-apa yang bisa ditindak lanjuti terkait hal itu," ujar Harry saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (11/4).
Namun, Harry enggan menjelaskan lebih lanjut terkait potensi pelanggaran hukum oleh PT PLN (Persero) terkait mangkraknya beberapa proyek pembangkit listrik tersebut. (Baca juga: Proyek Pembangkit 1.900 MW dari Era SBY Terancam Dihentikan)
Dalam hasil auditnya, BPK mengungkap bahwa mangkraknya lima Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di berbagai wilayah telah menyebabkan pemborosan keuangan PLN sebesar Rp 609,54 miliar dan US$ 78,69 juta.
Perinciannya, empat proyek sudah mangkrak yakni PLTU Tanjung Balai Karimun, PLTU Ambon, PLTU 2 NTB Lombok, PLTU Kalbar 2, dan satu pembangkit berpotensi mangkrak yaitu PLTU Kalbar 1. "Pengeluaran PLN untuk membangun PLTU tersebut tidak memberikan manfaat sesuai dengan rencana," tulis BPK dalam hasil temuannya di IHPS II tahun 2016.
(Baca juga: BPK: Tender Tiga Kontraktor Migas Tidak Sesuai Aturan)
Selain itu, ada BPK menemukan beberapa persoalan ketidakpatuhan dan kelemahan pengawasan internal PLN. Di antaranya, penyelesaian pembangunan 13 PLTU terlambat karena perencanaan yang tidak memadai, jaringan, sistem dan operator yang belum siap, serta peralatan yang rusak. PLN juga diketahui belum mengenakan denda keterlambatan penyelesaian pembangunan 12 proyek PLTU sebesar Rp 704,87 miliar dan US$ 102,26 juta.
BPK menyatakan, berbagai permasalahan tersebut mengakibatkan pembangunan PLTU 10 ribu MW tidak sesuai target dan biayanya membengkak. Alhasil, PLN harus memanggung biaya tambahan serta menyediakan dana investasi sebesar US$ 137,56 juta dan Rp 555,97 miliar.
(Baca juga: BPK: Rp 8,42 triliun Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan Tak Terserap)
Proyek pembangkit listrik 10 ribu MW ini dimulai pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam proyek ini, PLN diminta membangun pembangkit listrik di 37 lokasi di seluruh Indonesia dengan kapasitas sebesar 9.935 MW. Perinciannya, 10 lokasi di Pulau Jawa berkapasitas 7.490 MW dan 27 lokasi di luar Jawa berkapasitas 2.445 MW.