Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan akhirnya menyetujui Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) untuk periode tahun 2017 hingga 2026. Rencana ini menjadi acuan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam menyusun program kelistrikan dalam 10 tahun ke depan.
Jonan mengatakan, sudah membaca secara teliti 500 halaman draft rencana tersebut sebelum memberikan persetujuan. Tujuannya agar tidak terjadi kesalahan dalam penyusunannya. "Saya baru tanda tangan," kata dia di Jakarta, Rabu (5/4). (Baca: Revisi Rencana Listrik, PLN Tambah 4.000 MW PLTU Mulut Tambang)
Setelah ditandatangani, Jonan juga berencana mengadakan pertemuan dengan para pemangku kebijakan di sektor listrik. Kegiatan ini untuk mensosialisasikan RUPTL yang berlaku selama sembilan tahun tersebut.
RUPTL anyar itu memuat target kapasitas pembangkit listrik yang dibangun PLN dan swasta sampai tahun 2026 mencapai 125,7 Gigawatt (GW). Namun, Jonan mengatakan target itu dengan asumsi berada di beban puncak. Jika tidak hanya bisa tercapai 115 GW.
Pada RUPTL 2016 sampai 2025, target kapasitas pembangkit bisa mencapai 128,3 GW. Sementara saat ini kapasitas terpasang pembangkit listrik sebesar 51,86 GW.
Selain itu, bauran energi juga berubah. Dalam RUPTL yang baru ini, porsi penggunaan energi baru terbarukan meningkat menjadi 22,6 persen. Kenaikan juga dialami oleh pembangkit batubara menjadi 50,4 persen. Sedangkan gas turun menjadi 26,6 persen, dan bahan bakar minyak juga turun menjadi 0,4 persen. (Baca: Revisi Rencana Listrik: Pembangkit Batubara Dominan, Gas Berkurang)
No. | Energi Bauran | RUPTL 2016-2025 | RUPTL 2017-2026 |
1 | EBT (%) | 19,7 | 22,6 |
2 | Batubara (%) | 50,3 | 50,4 |
3 | Gas (%) | 29,4 | 26,6 |
4 | BBM (%) | 0,6 | 0,4 |
Menurut Jonan, ada beberapa alasan merevisi rencana penyediaan listrik. Salah satunya adalah pertumbuhan ekonomi. Dalam menyusun rencana penyediaan listrik tahun lalu, asumsi pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 8-9 persen dalam beberapa tahun mendatang.
Namun, kenyataannya target tersebut sulit direalisasikan. Alhasil, dalam RUPTL yang baru ini, asumsi pertumbuhan ekonomi 10 tahun ke depan sekitar 6 persen. Jika targetnya tidak direvisi, akan terjadi kelebihan pasokan listrik dari Pulau Jawa sebesar 5 GW.
Penyebab kelebihan listrik di Jawa adalah pembangunan tidak merata. Salah satu contohnya adalah banyak pembangkit listrik berbahan bakar batubara. “Saya tidak mengerti kok pembangkit PLTU dulu-dulunya itu banyak dibangun di Jawa, padahal padat penduduk dan kami mau kurangi emisi karbon," kata Jonan.
Karena kelebihan pasokan itu, pemerintah berencana membangun proyek kabel bawah laut untuk mengalirkan listrik dari Jawa ke Sumatera pada 2021. Hal ini berbeda dari rencana awal yang mengalirkan listrik dari pembangkit tenaga uap dari mulut tambang di Sumatera. (Baca: PLN Tunda PLTU Sumsel 8, Proyek Transmisi Laut HVDC Terancam)
Agar tidak mengulangi kesalahan hal itu, pembangkit listrik berbasis batubara akan dibangun di mulut tambang, seperti di Sumatera dan Kalimantan. Hal ini juga agar dekat dengan sumber bahan baku, sehingga harga jual listrik bisa terjangkau karena biaya murah.
Apalagi Presiden Joko Widodo pernah marah-marah mengenai jauhnya sumber bahan bakar dan lokasi pembangkit, seperti yang terjadi di Maluku. Di daerah tersebut untuk memasok batubara PLTU 2x15 MW, perlu mengangkut pakai kapal sehingga harga jual listriknya menjadi mahal.
Selain batubara, Jonan juga meminta pembangkit berbahan bakar gas juga dibangun di mulut sumur. Investor tidak perlu khawatir dalam membangun dekat mulut tambang sebab transmisi milik PLN sudah terbangun dan tersambung di beberapa wilayah. Sehingga listriknya akan mudah dibeli PLN. (Baca: Dukung Proyek 35 GW, PLN Bangun Ribuan Transmisi dan Gardu Induk)
Saat ini jaringan transmisi Sumatera sudah tersambung 275 kilo volt (Kv). Sementara dalam RUPTL kali ini, PLN akan membangun jaringan transmisi baru sepanjang 500 kv di Sumatera. "Jadi tidak masalah Pembangkit listrik mau di bangun di mana saja," kata Jonan.