Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya mempersoalkan riset Wood Mackenzie (Woodmac), yang menilai skema gross split tidak menarik bagi investor. Kesimpulan riset konsultan energi internasional ini dianggap kurang tepat karena tidak memasukkan kelebihan-kelebihan dari skema baru kerja sama minyak dan gas bumi (migas) tersebut.
Menurut Menteri ESDM Ignasius Jonan, ada beberapa kelebihan dari gross split dibandingkan skema yang lama. Dari sisi pemerintah, penyusunan anggaran dan pendapatan bisa lebih pasti karena tidak ada lagi kewajiban cost recovery atau pengembalian biaya operasional kegiatan hulu migas.
(Baca: Riset Terbaru, Skema Gross Split Migas Tak Menarik bagi Investor)
Jonan mengakui, hingga kini memang masih ada negara yang menggunakan skema kerja sama cost recovery, seperti di Malaysia. Namun, skema yang diterapkan di negeri jiran itu berbeda dengan Indonesia.
Pemerintah Malaysia menerapkan batas biaya penggantian. Sementara di Indonesia tidak ada dan kalau hal itu diterapkan bisa memicu perdebatan. Jadi, Pemerintah Indonesia membayar apa pun yang telah dikeluarkan kontraktor. Padahal, kepastian anggaran harus dijaga supaya realisasinya tidak melenceng.
Kontraktor juga akan memperoleh keuntungan dari segi pengadaan barang dan jasa karena tidak diatur lagi oleh sistem pemerintah. Hal ini tentu akan mempercepat prosesnya.
Selain itu, kontraktor bisa memperoleh tambahan bagi hasil. Salah satunya dengan memperbanyak tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sehingga meningkatkan industri dalam negeri.
Sikap pemerintah ini juga sudah didiskusikan dengan Wood Mackenzie. Diskusi itu dipimpin oleh Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar. Berdasarkan hasil diskusi itu, Wood Mackenzie akan merevisi hasil riset itu. “Kami tidak push juga untuk revisi,” kata Jonan di Jakarta, Jumat (24/3).
(Baca: Arcandra: Ada Kontraktor yang Sudah Ajukan Skema Gross Split)
Arcandra juga membenarkan pernyataan Jonan. Wood Mackenzie harus memperbaiki hasil risetnya dengan menunjukkan data yang benar. Alasannya, hal itu bisa berpengaruh ke citra Indonesia. “Coba image negara kita ke luar sana, Indonesia tidak menarik,” kata dia.
Menurut dia, Wood Mackenzie seharusnya tidak hanya melihat simulasi besaran bagi hasil, tapi juga kelebihannya seperti proses pengadaan yang lebih cepat. Salah satunya proses desain awal (Pre-FEED) yang hanya membutuhkan proses enam bulan. Selama ini lama waktu penyelesaian administrasinya bisa mencapai 8 bulan hingga 1,5 tahun.
Upstream Oil & Gas Senior Research Manager Wood Mackenzie Andrew Harwood enggan mengomentari pernyataan dua pejabat pemerintah tersebut. "Saya tidak mengetahui pernyataan Pak Jonan itu, jadi tidak bisa menanggapinya," katanya kepada Katadata, Jumat (24/3) malam.
Yang jelas, hasil riset Woodmac itu menyebutkan pemakaian skema gross split menyebabkan kontraktor akan lebih sulit memperoleh tingkat keekonomian yang diinginkan karena waktu pengembalian investasinya lebih lama.
(Baca: Kontraktor Migas Keluhkan Balik Modal Skema Gross Split Lebih Lama)
Sementara itu, Presiden Direktur PT Medco Energi Internasional Tbk Hilmi Panigoro, mengatakan meski sudah terbit, aturan mengenai skema gross split itu harus dievaluasi dari waktu ke waktu. Jika tidak, maka investasi migas di Indonesia bisa jadi kalah bersaing dengan di negara lain apabila tawaran dari negara lain lebih menarik. "Kami harus melihat persaingan juga,'' katanya.