Skema kerja sama minyak dan gas bumi (migas) yang baru diluncurkan pemerintah, yakni gross split, mendapat sorotan dari Wood Mackenzie. Riset terbaru konsultan internasional tersebut bertajuk "Indonesia's Gross Split PSC: Improved Efficiency at Risk of Lower Investment?" edisi Maret 2017 mengungkapkan, skema tanpa penggantian biaya operasional (cost recovery) ini tidak menarik bagi investor.
Research Analyst Wood Mackenzie kawasan Asia Tenggara, Johan Utama mengatakan, kontraktor akan lebih sulit mendapatkan tingkat keekoonomian yang diinginkan dengan skema gross split. “Sehingga akan lebih sulit bagi kontraktor untuk menyetujui investasi,” kata dia kepada Katadata, Rabu (8/3). (Baca: Hitung-Hitungan Skema Baru Kontrak Migas Gross Split)
Keekonomian proyek migas dipengaruhi oleh besaran bagi hasil yang diterima oleh kontraktor dan negara. Selain itu, skema cost recovery. Dua faktor ini akan berdampak pada waktu pengembalian modal kontraktor.
Menurut Johan, jika menggunakan skema lama maka waktu yang dibutuhkan untuk balik modal menjadi lebih panjang. “Sehingga sulit mencapai keekonomian proyek (Net Present Value dan Internal Rate of Return) seperti di skema lama,” ujar dia.
Sebagai gambaran, dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 tahun 2017, perhitungan bagi hasil skema gross split terdiri dari tiga indikator, yakni komponen dasar, komponen variabel, dan komponen progresif. Komponen variabel dan progresif ini bisa menambah dan mengurangi komponen dasar.
Besaran komponen dasar untuk bagi hasil minyak bumi adalah 57 persen untuk negara, sedangkan 43 persen menjadi bagian kontraktor. Sedangkan untuk gas, negara memperoleh 52 persen dan sisanya kontraktor. (Baca: Mengukur Manfaat Skema Baru Gross Split bagi Negara)
Sementara itu, yang mempengaruhi komponen variabel adalah status wilayah kerja, lokasi lapangan, kedalaman reservoir, ketersediaan infrastruktur pendukung, dan jenis reservoir. Selain itu, kandungan karbon dioksida (CO2), kandungan hidrogen sulfida (H2S), berat jenis minyak bumi, tingkat komponen dalam negeri (TKDN) saat pengembangan lapangan, dan tahapan produksi.
Adapun, komponen progresif terdiri dari harga minyak bumi dan jumlah kumulatif produksi migas. Komponen progresif mengacu harga minyak dunia ini dilakukan setiap bulan berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh SKK Migas. Evaluasi dilakukan berdasarkan perhitungan harga minyak mentah Indonesia bulanan.
Di sisi lain, Johan mengingatkan konsep gross split ini menjanjikan sistem kerja hulu yang lebih efisien dan cepat, dengan mengurangi potensi ekonomis bagi kontraktor. Dari sudut pandang lain, konsep gross split ini mendorong kontraktor melakukan efisiensi biaya lebih lanjut.
Namun, untuk mengukur tingkat efisiensi yang bisa didapat dengan meniadakan cost recovery, pelaku sektor hulu migas di Indonesia masih menunggu perubahan regulasi di tingkat detail atau pelaksanaan. Masa depan kontrak gross split juga dipertanyakan mengingat masih belum selesainya revisi UU Migas.
“Apabila pemerintah ingin meningkatkan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi maka perubahan regulasi dan revisi UU Migas perlu secepatnya dituntaskan,” kata Johan.
Saat ini baru Blok Offshore North West Java (ONWJ) yang menggunakan skema gross split. Ke depan, pemerintah akan menerapkan skema baru itu untuk blok migas yang akan dilelang pada Mei nanti. (Baca: Lelang Blok Migas Nonkonvensioal Tidak Laku)
Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong berharap sambil menyiapkan lelang yang akan datang, pemerintah sudah bisa menjabarkan hal-hal yang dilakukan dalam rangka penyederhanaan birokrasi. “Seperti semangat pada saat menerbitkan permen gross split diawal,” kata dia kepada Katadata.