Pemerintah terus menggenjot investasi hulu minyak dan gas bumi (migas). Jika Indonesia kekurangan migas sehingga harus mengimpor maka akan membawa efek berantai yang mempengaruhi perekonomian dan penerimaan negara.

Kepala Bagian Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Taslim Z. Yunus mengatakan Indonesia memang menghadapi ancaman kekurangan migas. Penyebabnya, produksi yang berkurang dan permintaan meningkat. (Baca: Minim Eksplorasi, Indonesia Terancam Kekurangan Migas)

Pada 2025, kebutuhan migas dalam negeri akan mencapai 3,5 juta barel  setara minyak per hari (bsmph). Sedangkan kemampuan produksi migas dalam negeri saat itu hanya mencapai 2 juta bsmph. Artinya ada defisit migas sebanyak 1,5 juta bsmph. "Kalau mengimpor untuk menutupi gap tadi, ada multiplier effect yang hilang," kata Taslim di Jakarta, Selasa (31/1).

Impor migas ini tentu akan mempengaruhi investasi dalam negeri. Padahal menurut hasil studi Universitas Indonesia (UI) tahun 2016, investasi migas sebesar Rp 1 miliar di Indonesia, memberikan  efek berganda sebesar Rp 1,6 miliar bagi perekonomian.  Selain itu juga dapat menghasilkan nilai tambah terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp 700 juta.

Efek lainnya bagi ekonomi rumah tangga sebesar 20 persen atau sekitar Rp 200 juta. "Juga terdapat kesempatan untuk menambah lapangan kerja yang cukup signifikan," kata Taslim.

Selain impor, pemerintah memiliki opsi lain untuk menutup defisit migas, yakni meningkatkan eksplorasi dalam negeri. Namun, untuk menggenjot itu perlu insentif agar investor bergairah menanamkan dananya di Indonesia. (Baca: Cegah Produksi Turun, SKK Migas Siapkan Transisi 8 Blok Migas)

Salah satunya adalah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2010 tentang perpajakan dan cost recovery (penggantian biaya operasional). Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Goro Ekanto  mengatakan saat ini draft revisi aturan tersebut sudah berada di Kemenko perekonomian dan akan terbit sebulan ke depan.

Setelah peraturan presiden itu terbit maka Kementerian keuangan akan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur hal teknis dalam pemberian kebijakan fiskal tersebut. Pembuatan PMK tersebut nantinya akan melibatkan Kementerian ESDM. "Karena ESDM yang tahu teknisnya, cara hitung-hitungannya," kata dia.

Dalam revisi PP 79/2010 pemerintah akan mengganti konsep assume and discharge (pajak ditanggung negara) dengan pemberian fasilitas perpajakan di sektor migas. Alasannya konsep ini tidak dibenarkan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. (Baca: Investor Migas Belum Puas Hasil Revisi Aturan Cost Recovery)

Kontraktor nantinya akan mendapatkan fasilitas perpajakan yang menyerupai assume and discharge. Fasilitas itu adalah pembebasan bea masuk, Pembebasan Pajak Penghasilan (Pph), pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor, PPN dalam negeri, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tubuh bumi selam masa eksplorasi.

Selain itu, pemerintah dapat memberikan fasilitas perpajakan bagi KKKS pada masa eksploitasi. Pemberian fasilitas ini harus berdasarkan keekonomian proyek suatu lapangan migas.