Demi Negara, Pertamina-PLN Teken Kontrak Listrik Proyek Jawa 1

Katadata | Miftah Ardhian
Penulis: Miftah Ardhian
Editor: Yura Syahrul
31/1/2017, 14.11 WIB

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) akhirnya menandatangani kontrak jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) dengan Konsorsium PT Pertamina (Persero). Penandatanganan ini mengakhiri polemik di antara dua BUMN ini sehingga proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa 1 berkapasitas 1.760 Mega Watt (MW) dapat segera dibangun.

Direktur Utama Pertamina Dwi Sutjipto mengakui, proses negosiasi yang dilakukan dengan PLN memang berlangsung sangat ketat. Bahkan, dia menilai PLN "sangat habis-habisan" dalam melakukan negosiasi. Namun, kesepakatan akhirnya dapat tercapai karena kedua belah pihak saling memahami kondisinya masing-masing.

Meskipun, Dwi menyatakan, Pertamina mengaku mendapatkan tingkat pengembalian investasi atau Internal Rate of Return (IRR) dari proyek Jawa 1 tersebut yang kurang ekonomis. "Kalau IRR masih bisa masuk, kita lanjut saja. Karena kita tidak bicara keekonomisan (di proyek ini) tapi kepentingan negara," katanya saat penandatanganan PPA PLTGU Jawa-1 di Jakarta, Selasa (31/1).

Direktur Utama PLN juga mengakui, proses negosiasi berlangsung panjang. Namun, dia mengapresiasi pihak konsorsium terutama Pertamina yang telah memberikan tarif yang sangat baik, yakni 5,5 per kWh.  (Baca: PLN-Pertamina Sepakat, Kontrak Listrik Jawa-1 Diteken Besok)

Dengan adanya proyek ini, kehandalan pasokan listrik Jawa-Bali dapat semakin meningkat dengan tambahan 8.409 GWh tiap tahun. Terlebih lagi, dengan tarif dari Pertamina tersebut, tarif listrik untuk masyarakat dapat ditekan. "Pertamina menjadi pihak yang berkontribusi di dalamnya," kata Sofyan. 

Ia menambahkan, proyek ini juga merupakan salah satu cara meningkatkan penggunaan energi bersih di Indonesia. Karena itu, penyelesaian pembangunan pembangkit ini yang ditargetkan tahun 2020, bisa dipercepat. "Mudah-mudahan bisa selesai lebih cepat. Proses pembangunan ini agar bisa segera diawali sehingga paralel dengan proses financial close," ujar Sofyan.

(Katadata | Miftah Ardhian)

Sementara itu, Ketua Konsorsium Pertamina Ginanjar mengatakan, PLN memberikan jangka waktu 12 bulan untuk mencapai tahap penyelesaian pendanaan. Namun, perusahaan patungan konsorsium yakni PT Jawa-1 Power ini akan terus berusaha mempercepat proses tersebut agar tahap konstruksi bisa segera dimulai dan rampung tahun 2019.

Dana yang dibutuhkan dalam pembangunan proyek ini sebesar US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 24 triliun. Kebutuhan dana ini akan ditopang oleh modal perusahaan patungan tersebut sebesar 25 persen.

Komposisi PT Jawa-1 Power ini sendiri yaitu Pertamina sebesar 40 persen, Marubeni Corporation 40 persen, dan Sojitz Corporation 20 persen. Sedangkan, sisa pendanaan sebesar 75 persen akan diperoleh dari pinjaman luar negeri yaitu dari Asian Development Bank (ADB), Japan Bank for International Corporation (JIBC), dan Nippon Export of Investment (NEXI).

"Kami lakukan terbaik, kami optimasi di semua sektor. Kalau kita bisa usahakan lebih cepat, 2019 kenapa tidak. Tapi detailnya tidak bisa sampaikan. Hanya ada daerah yang bisa kami percepat (Amdal), karena sudah melakukan kajian-kajian," ujar Ginanjar.

(Baca: PLN Ancam Batalkan Pertamina Garap Pembangkit Listrik Jawa 1)

Sementara itu, Direktur Pengadaan PLN Supangkat Iwan Santoso mengatakan, pembangkit ini berperan penting dalam menopang fluktuasi beban serta menjaga kualitas pasokan tenaga listrik di Jawa-Bali. Pembangkit ini akan menggunakan sistem load follower, yang dioperasikan mengikuti kebutuhan dan beban yang dibutuhkan dengan Availbility Factor (AFp) tahunan yang disepakati sebesar 60 persen.

PLN dan konsorsium pun telah menyelesaikan seluruh permasalahan yang ada, termasuk masalah kelayakan pendanaan oleh bank atau bankability. Dari kebutuhan 17,6 kargo gas, saat ini sudah ada alokasi 16 kargo gas dari LNG Tangguh dan bisa plus 6-8 kargo jika dibutuhkan. "Maksimum dalam dua minggu kami agreement dengan BP Berau tangguh," ujar Iwan.

Namun, kontrak dengan Tangguh hanya berlangsung sampai 2035. Artinya, pasokan gas Tangguh ini tidak mencukupi sampai dengan batas maksimum PLTGU Jawa-1 ini beroperasi, yakni hingga 2045. Iwan menyatakan, hal ini akan menjadi tanggung jawab PLN memastikan pasokan gas untuk pembangkit tersebut pasca 2035. "Kalau kurang tanggung jawab PLN, mau impor atau dari mana. Kalau tidak ada (gas) kan kami juga rugi," ujar Iwan.

Sebagai informasi, listrik yang dihasilkan pembangkit Jawa-1 ini akan disalurkan ke sistem kelistrikan Jawa-Bali melalui jaringan transmisi 500 kV dari lokasi pembangunan ke Gardu Induk 500 kV Cibatu Baru di Cibatu, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Panjang jaringan transmisi yang dibutuhkan sekitar 52 kilometer. 

Proyek Jawa 1 ini adalah pembangkit listrik berbahan bakar gas pertama di Indonesia. Bahkan, proyek ini diklaim sebagai pembangkit listrik berbahan gas terintegrasi pertama dan terbesar di kawasan Asia Tenggara dan kedua di dunia. Proyek ini menggabungkan pengerjaan fasilitas regasifikasi terapung atau Floating Storage Regasification Unit (FSRU) dengan pembangkit listrik (CCGT: Combine Cycle Gas Turbine).

Proyek ini diklaim melibatkan 18 mitra internasional maupun domestik yang bepengalaman dalam pembangunan FSRU dan CCGT seperti Samsung C&T, Samsung Heavy Industry, Meindo Indonesia dan Exmar sebagai operator FSRU.