Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah merampungkan aturan baru skema kontrak kerja sama minyak dan gas bumi (migas), yaitu gross split. Dalam aturan ini, besaran bagi hasil untuk kontraktor akan lebih besar dibandingkan memakai skema saat ini, kontrak bagi hasil/production sharing contract (PSC).

Direktur Teknik dan Lingkungan Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan, ada tiga komponen untuk menentukan besaran bagi hasil. Ketiga komponen itu adalah based split atau komponen dasar, komponen variabel, dan komponen progresif.  (Baca: Hitung-Hitungan Skema Baru Kontrak Migas Gross Split)

Komponen dasar bagi hasil untuk minyak yang akan diterima kontraktor dengan skema gross split setelah dikurangi pajak adalah 43 persen. Pada skema PSC, kontraktor migas hanya mendapat bagian 15 persen.

Sementara bagi hasil gas untuk kontraktor setelah dikurangi pajak sebesar 48 persen. Adapun dengan skema saat ini hanya mendapatkan 30 persen. Hitungan pajak untuk minyak dan gas bumi ini sebesar 13 persen. “Itu didapatkan dari rata-rata pajak,” kata Djoko di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (16/1).

Bagi hasil tersebut nantinya bisa bertambah tergantung variabelnya. Ada beberapa variabel yang menentukan tambahan bagi hasil, antara lain tingkat komponen dalam negeri (TKDN), karakteristik lapangan dan tingkat kesulitannya.

Djoko mencontohkan, tambahan bagi hasil paling tinggi yang bisa didapatkan kontraktor adalah  16 persen. Bagi hasil ini akan didapatkan jika kontraktor mengelola blok nonkonvensional dan  wilayah laut dalam, dengan kedalaman laut melebihi 1.000 meter. (Baca: Lima Penentu Porsi Bagi Hasil dalam Skema Baru Kontrak Migas)

Selain itu, ada komponen progresif seperti harga minyak dunia dan produksi. Jadi, jika harga minyak dunia turun, bisa disesuaikan. Dengan begitu penerimaan negara tidak akan terganggu. "Kalau tidak begitu, harga minyak turun penerimaan negara juga turun kayak sekarang," kata Djoko.

Menurut Djoko, alasan bagi hasil kontraktor dengan skema gross split lebih besar dari PSC karena tidak lagi menggunakan skema cost recovery atau penggantian biaya operasional. Artinya, kontraktor menanggung seluruh biaya operasional untuk kegiatan hulu migas.

Selain menawarkan bagi hasil yang lebih besar, pemerintah juga mendesain kontrak migas yang menggunakan skema gross split memperoleh tingkat pengembalian investasi (IRR) sebesar 16 persen. Angka ini, lebih besar dari skema PSC saat ini yang hanya 12 persen. (Baca: Pengusaha Ingin Skema Gross Split Tak Kurangi Keuntungan Proyek)

Menurut Djoko, dengan skema gross split, kontraktor menjadi lebih cepat dalam memproduksi migas. Kontraktor juga lebih cepat melakukan pengadaan barang dan jasa yang selama ini dikerjakan SKK Migas.