PT Pertamina (Persero) menyatakan proses bisnis niaganya menjual bahan bakar minyak (BBM) kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), langsung tanpa melalui makelar atau perantara. Selama ini Pertamina mengirimkan BBM berdasarkan permintaan pelanggan dalam menentukan pola pengirimannya.
"Pertamina bertransaksi langsung dengan PLN tanpa perantara dan skema yang sekarang dilakukan adalah sesuai keinginan pembeli," kata Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro dalam siaran resminya yang diterima Katadata, Kamis (29/12).
Hal ini merupakan jawaban Pertamina menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong di Sulawesi Utara beberapa hari lalu. Dalam kunjungan itu, Jokowi mengungkapkan bahwa mahalnya harga listrik dari pembangkit di daerah terpencil. Ini adalah akibat adanya pihak ketiga di antara produsen dan penyalur listrik, sehingga harga listrik menjadi mahal.
Wianda mengakui untuk BBM di Industri, khususnya untuk pembangkit listrik di daerah terpencil memang harganya lebih mahal. Namun, penyebabnya bukan karena pihak ketiga, melainkan karena ongkos angkut atau biaya distribusinya yang tinggi. (Baca: Rugi Rp 800 Miliar, Pertamina Jual BBM di Papua Rp 6.450 per Liter)
Terkait dengan harga jual BBM untuk pembangkit PLN, Wianda mengatakan selama ini Pertamina menjual BBM untuk industri, termasuk PLN dengan harga yang sama seluruh Indonesia. Formulanya mengacu pada harga MOPS ditambah 5 persen. Namun, setiap pelanggan menggunakan skema layanan pengiriman BBM yang berbeda, yang membuat harga yang dibelinya pun berbeda.
Selama ini pengiriman BBM Pertamina kepada PLN melalui mekanisme Loco, yang dipilih sendiri oleh PLN. Dengan mekanisme ini, PLN mengambil BBM dari depo atau terminal Pertamina. Biaya pengangkutan dari titik serah tersebut hingga ke plant gate PLN, harus ditanggung sendiri oleh PLN.
Biaya angkut, terutama daerah terpencil yang sulit dijangkau ini relatif tinggi, maka total biaya BBM yang harus ditanggung PLN pun menjadi tinggi. Sehingga berpengaruh pada total biaya produksi listrik dan membuat harga jual listriknya pun harus tinggi.
Meski begitu, Wianda mengklaim Pertamina telah memberikan kelonggaran kepada PLN dalam menjual BBM. Salah satunya kelonggaran dari segi transaksi, dengan skema kredit tanpa jaminan dan tanpa biaya bunga, bahkan dengan fleksibilitas yang tinggi terkait waktu pembayarannya.
(Baca: Rupiah Melemah, Pertamina Naikkan Harga BBM Non-subsidi)
Wianda menjelaskan ada empat skema layanan pasokan BBM yang ditawarkan Pertamina kepada industri dan pembangkit listrik PLN. Pertama, skema Loco, yakni penyerahan BBM dilakukan di depo atau terminal BBM Pertamina. Sehingga biaya pengangkutan hingga ke pembeli menjadi beban pembeli. Sistem Loco merupakan sistem terlama yang diterapkan Pertamina terhadap konsumennya, seperti PLN, Charoen Group, Sinarmas Group dan Forindo Group.
Kedua, skema Franco, yakni Pertamina mengirimkan BBM hingga ke plant gate atau tempat penyimpanan (storage) pembeli. Harga jual untuk skema ini lebih mahal, karena termasuk semua biaya sampai BBM dibongkar di plant gate pembeli. Konsumen besar yang menerapkan skema Franco adalah TNI, Kitadin Embalut, Jorong Barutama Greston dan PT Freeport Indonesia.
Ketiga, skema Vendor Held Stock yakni titik penyerahan BBM ke pelanggan dari depo atau terminal BBM Pertamina ke tangki penyimpanan BBM pembeli yang dikelola oleh Pertamina. Skema ini memungkinkan pembeli terbebas dari biaya penyusutan tangki dan pasokannya lebih terjamin. Konsumen Pertamina yang memakai skema ini adalah PT Indo Tambangraya Megah Tbk., PT Indominco Mandiri, PT Trubaindo, PT Bharinto Eka Tama dan juga PT Kereta Api Indonesia (Persero).
Keempat, skema Fuel Management System, yaitu titik penyerahan, penyimpanan hingga pengelolaan peralatan BBM sampai ke pelanggan akhir. "Kami selalu menawarkan layanan dan skema yang dapat memberikan value lebih baik kepada konsumen dengan efisiensi yang diperoleh," kata dia.