Cadangan minyak di Indonesia terus turun dari tahun ke tahun. Bahkan, pada semester I tahun 2016, cadangan minyak Indonesia tercatat yang terendah sejak 2000 silam.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan, cadangan minyak Indonesia sepanjang semester I tahun ini hanya 2.933 million stock tank barrels (mmstb). Jumlah itu pun hanya cadangan terbukti (P1). (Baca: Eksplorasi Minim, Cadangan Minyak Turun Hampir Empat Persen)
Jika dibandingkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sejak 1 Januari 2000, cadangan minyak semester I tahun ini merupakan yang terendah. Pada 2000, cadangan minyak terbukti bisa mencapai 5.088 mmstb.
Jumlahnya terus berfluktuasi dari tahun ke tahun. Sepanjang periode 1 Januari 2000 hingga 1 Januari 2005, cadangan terbukti minyak menurun sampai 4.187 mmstb. Pada 1 Januari 2006, cadangan kembali naik menjadi 4.371 mmstb. Namun, sejak 2009 cadangan terus menurun hingga menyentuh level 2.933 mmstb pada semester I tahun 2016.
Menurut Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerjasama Kementerian ESDM Sujatmiko, jumlah 2.933 mmstb itu bukan hanya terdiri dari cadangan terbukti. “Sesuai info yang menangani cadangan, data tersebut jumlah total P1, P2, dan P3 yang berdasarkan angka sementara 2016 atau status sampai dengan triwulan II,” kepada Katadata, Senin (25/7).
Di sisi lain, Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengakui, cadangan minyak beberapa tahun terakhir memang menunjukkan tren penurunan. Padahal, jumlah lapangan yang ada terus meningkat. Pada 2000, jumlahnya hanya 632 lapangan, tapi pada 2015 sudah ada 757 lapangan minyak.
Menurut Amien, data itu menunjukkan jika eksplorasi di hulu migas masih perlu ditingkatkan. “Untuk penambahan cadangan maka diperlukan eksplorasi secara agresif,” ujar dia. (Baca: Dalam 6 Bulan, Realisasi Pengeboran Sumur Migas Minim)
Di tengah harga minyak yang rendah, kegiatan eksplorasi hulu migas memang masih di bawah target. Salah satu contohnya, realisasi pengeboran sumur eksplorasi selama enam bulan pertama tahun ini hanya 19 sumur. Padahal, target dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan atau work plan and budget (WP&B) tahun ini sebanyak 137 sumur.
Dewan Penasehat Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan penurunan cadangan minyak ini sudah mencapai level darurat. Apalagi penurunan itu sudah melewati siklus eksplorasi antara enam sampai 10 tahun. “Artinya lebih dari periode itu kita praktis tidak berhasil menemukan cadangan minyak baru dalam skala yang besar,” ujar dia.
Persoalan mendasarnya adalah sistem pengelolaan yang keliru. Sejak Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas, pengelolaan yang semula dilakukan dengan cara bisnis atau dipegang badan usaha, diganti menjadi badan birokrasi pemerintah.
Menurut dia, investasi industri hulu migas di Indonesia membutuhkan fleksibilitas karena pemerintah tidak mengeluarkan modal untuk investasi. “Fleksibilitas hanya bisa ditempuh melalui bisnis bukan birokrasi prosedural,” kata dia. (Baca: Fungsi SKK Migas Berpeluang Kembali ke Pertamina)
Untuk pemerintah harus segera menyelesaikan revisi Undang-Undang Migas. Bahkan, jika perlu pemerintah bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.