Kisruh megaproyek pembangkit listrik 35 gigawatt (GW) kembali mengangkat perseteruan lama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. Menurut Rizal, lambannya Perusahaan Listrik Negara (PLN) menggarap proyek andalan Presiden Joko Widodo tersebut lantaran pengerjaannya memang membutuhkan waktu yang panjang.
Saat pertama kali menjabat Menko Kemaritiman pada September tahun lalu, dia mengaku telah meminta agar proyek 35 GW tersebut dievaluasi. “Setelah kami pelajari, target ini kurang realistis,” kata Rizal dalam pertemuan koordinasi Struktur Ketenagalistrikan yang dihadiri oleh manajemen PLN dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Gedung BPK, Jakarta, Selasa (31/5).
Namun, menurut Rizal, banyak pihak yang bereaksi keras terhadap penilaian tersebut dan menganggapnya tidak mengetahui soal listrik. Padahal, para pihak yang bereaksi tersebut adalah orang-orang yang punya kepentingan sangat besar di PLN. “Takut dikaji ulang kalau tadinya proyeknya 12 atau 13 jadi dicoret tinggal 4 atau 5 proyek,” ujar dia.
Indikasi itu bisa dilihat dari kebijakan tarif listrik dari pembangkit yang harus dibeli PLN. Kebijakankenaikan tarif oleh pemerintah itu banyak yang disalahgunakan. Misalnya, pembangkit listrik yang sudah ada, tapi menuntut sistem harga yang baru. Padahal, investor yang membangun pembangkit itu sudah balik modal. “Yang ini bakal jadi korban pemeriksaan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),” ujar Rizal.
Namun, dia tidak menyebutkan para pihak yang dianggap bereaksi keras terhadap penilaian kebijakan yang tidak realistis tersebut. Yang jelas, jika melongok ke belakang, Menteri ESDM pernah menegaskan keyakinannya bahwa megaproyek tersebut bakal bisa diwujudkan. Adanya berbagai kendala, seperti pembebasan lahan dan perizinan yang rumit, bukan menjadi alasan untuk mengurangi target tersebut. "Tapi mencari cara bagaimana target itu terpenuhi,” ujar dia. (Baca: Perseteruan JK - Rizal Ramli Soal Nomenklatur Terus Memanas)
Kala itu, pernyataan Rizal itu juga mengundang reaksi dari Kalla. “Sebagai menteri harus pelajari dulu sebelum berkomentar. Menteri harus banyak akalnya. Kalau kurang akal pasti tidak paham. Kalau mau, (pembangkit listrik) 50 ribu megawatt pun bisa dibuat," katanya.
Alih-alih surut langkah, Rizal justru menantang Kalla berdiskusi di depan umum untuk membahas rencana tersebut. “Kalau mau paham, minta Pak Jusuf Kalla ketemu saya, kita diskusi di depan umum," katanya. Perang pernyataan itu mereda setelah Jokowi bersuara. Ia menyatakan tugas menteri ialah mencari solusi agar seluruh program pemerintah berjalan baik.
(Baca: Presiden Minta Menteri dan Menko Cari Solusi Megaproyek Listrik)
Menurut Rizal ada beberapa faktor yang mendasari penilaiannya tersebut. Pertama, proyek 35 GW ini sulit direalisasikan dalam kurun lima tahun ke depan. Berdasarkan hitungannya, maksimal pembangkit yang dapat dibangun dalam kurun lima tahun hanya sebesar 17-18 GW alias separuh dari rencana pemerintah. Kalau jumlah tersebut tercapai, hal tersebut sudah merupakan prestasi luar biasa. Rizal mengacu kepada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dalam 10 tahun hanya mampu membangun pembangkit listrik 10,2 GW.
(Baca: Sudirman-Rizal Beda Pendapat Soal Proyek Listrik 35.000 MW)
Kedua, kalaupun proyek listrik 35 GW itu dapat terealisasi dalam lima tahun maka PLN harus membayar pasokan listrik tersebut meskipun kemungkinan ada yang tak teserap. Rizal pun menghitung, PLN harus membayar US$ 10,7 miliar per tahun atas listrik yang tak terpakai kepada perusahaan pembangkit listrik swasta. Hal ini tentu akan menyulitkan keuangan PLN. Apalagi, surat utang yang dipegang PLN sudah banyak.
Ketiga, megaproyek ini sulit tercapai karena pemenang tender kebanyakan tidak punya pengalaman di bidang pembangkit listrik. “Ada satu kelompok yang punya sampai 12 izin, ada yang sedang mengerjakan, ada yang menunggu saja jadi broker buat main-main,” ujar dia. (Baca: Membahayakan PLN, Rizal Ramli Revisi Megaproyek Listrik Jadi 16 GW)
Untuk itu, PLN perlu hati-hati menunjuk perusahaan swasta atau mitra, terlebih lagi dengan perusahaan asal Cina. Mengingat Indonesia sudah punya pengalaman bekerjasama dengan Cina pada periode sebelumnya. Dari 10,2 GW yang dibangun, pembangkit buatan Cina banyak mengalami masalah. Rizal pun mengusulkan lebih baik bekerjasama dengan investor asal Jerman, Swiss atau Austria.
(Baca: BPK Usul Bentuk Satgas Khusus Proyek Listrik 35 Gigawatt)
Sebelumnya, Kementerian ESDM pun mencatat, pembangunan proyek pembangkit listrik 35 GW berjalan lambat. Hingga bulan lalu, hanya ada 0,6 persen pembangkit 35 GW yang sudah beroperasi. Sisanya masih dalam tahap perencanaan, pengadaan, dan konstruksi.
Kepala Pusat Komunikasi Kementerian ESDM Sujatmiko mengatakan, lambatnya proyek tersebut membuat banyak investor yang mempertanyakan target penyelesaian proyek listrik 35 GW. Karena itu, Kementerian ESDM berencana mengambil alih proses lelang proyek listrik 35 GW dari PLN.