Pemerintah telah menurunkan harga gas bagi industri menjadi US$ 6 per MMBTU. Akibatnya, potensi penerimaan negara yang hilang diperkirakan mencapai Rp 87,4 triliun pada 2020-2024. Tapi, di sisi lain, negara masih diuntungkan dari penghematan belanja dan efek berantai dari penurunan harga gas tersebut.
"Ini terdiri dari penurunan dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dan DBH (Dana Bagi Hasil) menjadi kewenangan Kementerian Keuangan," kata Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief Setiawan Handoko dalam Indonesian Gas Society Webinar Series, Sabtu (16/5).
Bagaimanapun, negara juga dapat menghemat belanja pemerintah dengan adanya penurunan harga gas. Perkiraan penghematan pemerintah mencapai Rp 97,8 triliun pada tahun 2020-2024.
Penghematan tersebut terdiri dari konversi pembangkit diesel sebesar Rp 13,1 triliun, penurunan kompensasi listrik Rp 54,7 triliun, pajak dan dividen dari industri dan pupuk Rp 5,8 triliun, dan penurunan subsidi pupuk serta PLN sebesar Rp 24,2 triliun.
(Baca: Pertamina Ganti Direksi PT PGN, Suko Hartono jadi Direktur Utama)
Dengan demikian, penurunan harga gas akan memberikan keuntungan bagi negara sebesar Rp 10,4 triliun. Selain keuntungan tersebut, penurunan harga gas diharapkan memberikan multiplier effect berupa peningkatan produktivitas industri serta penyerapan tenaga kerja.
"Ada pemberitaan industri keramik bergeliat. Industri sarung tangan karet juga menikmati harga gas yang rendah tersebut," ujar Arief.
Ia pun mencatat, volume gas mengalami penyesuaian seiring dengan penurunan harga gas industri tersebut. Total volume gas untuk industri tertentu sebesar 1.227 BBTU per hari, sementara untuk sektor kelistrikan sebesar 1.396 BBTU per hari.
Kontraktor migas mengaku tidak keberatan terhadap penurunan harga gas. Sebab, menurut Presiden Direktur PT Pertamina EP Cepu Jamsaton Nababan, adanya skema kompensasi dalam bentuk pengurangan penerimaan bagian negara kepada kontraktor. Alhasil, penerimaan kontraktor tidak berubah, baik saat harga gas masih seperti awal maupun saat sudah turun.
Di sisi lain, Jamsaton meminta agar pembayaran kompensasi tersebut dilakukan saban bulan atau bukan per kuartal. Tujuannya untuk menjaga arus kas perusahaan. "Ini berpotensi menurunkan nilai keekonomian, termasuk risiko penurunan nilai pinjaman dari bank untuk pembiayaan proyek," ujarnya, di dalam diskusi tersebut.
Menanggapi permintaan itu, SKK Migas menyatakan butuh waktu untuk proses tata kelola perusahaan yang baik (GCG) sebelum melakukan pembayaran kompensasi.
(Baca juga: Konsorsium Grup Bakrie Bangun Pabrik Metanol Bernilai Rp 29 Triliun)
Sedangkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengharapkan industri dapat lebih kompetitif dengan harga gas saat ini. "Selain itu, secara net negara masih diuntungkan dari kompensasi biaya listrik sehingga bisa hemat lebih Rp 50 triliun," kata Kepala Biro Komunikasi Kementerian ESDM, Agung Pribadi, di tempat terpisah.
(REVISI: Artikel ini diperbarui pada hari Minggu, 17 Mei 2020, pukul 19.00 WIB, pada bagian judul, paragraf pertama dan penambahan satu paragraf terakhir. Selain itu, ada perbaikan pada paragraf ke-8 dan penambahan paragraf ke-9 dan 10. Hal ini untuk meluruskan kalimat sebelumnya, yaitu: "Meski begitu, ada pihak yang merasa dirugikan akibat kebijakan penurunan gas tersebut,....", bukan merupakan pernyataan dari Presiden Direktur PT Pertamina EP Cepu Jamsaton Nababan)