Ekspor Batu Bara Anjlok 10%, Kementerian ESDM Incar Pasar Baru di Asia

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi, aktivitas tambang batu bara di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (17/1/2019). Kementerian ESDM menyebut ekspor batu bara sepanjang Januari hingga Mei 2020 turun 10% akibat pandemi corona.
30/6/2020, 16.09 WIB

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM menyatakan realisasi ekspor batu bara masih anjlok dibandingkan tahun lalu. Itu lantaran permintaan batu bara yang turun akibat pandemi corona.

Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Kementerian ESDM Sujatmiko mengatakan volume ekspor batu bara sepanjang Januari hingga Mei 2020 sebesar 175,15 juta ton. Angka tersebut turun 10% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 193,82 juta ton.

Sedangkan nilai ekspor periode Januari hingga Mei 2020 sebesar US$ 7,77 miliar, turun 18% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 9,46 miliar. Penurunan kinerja ekspor disebabkan oleh berkurangnya permintaan batu bara dari negara pengguna, serta melemahnya harga akibat pandemi Covid-19 dan harga minyak di pasar global.

Jika pandemi Covid-19 berlangsung sampai akhir tahun, negara-negara importir bakal terus menurunkan permintaan. Oleh karena itu, pemerintah bakal terus menjajaki potensi pasar baru batu bara dengan mekanisme government to government.

"Kami coba kerja sama dengan kedubes yang ada di Bangladesh, Brunei, Srilanka untuk jadi market sounding. Kami akan G to G, semacam investor promotion dengan mereka," ujar Sujatmiko dalam diskusi media secara virtual, Selasa (30/6).

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengungkapkan bahwa importir batu bara asal Bangladesh dan Pakistan sudah menjalin bisnis dengan para produsen di Tanah Air. Namun, kerja sama tersebut berlangsung secara business to business.

"Bangladesh dan Pakistan sejak beberapa tahun terakhir sudah bolak balik ke Indonesia. Kami setuju untuk memperkuat G to G. Sepertinya kami belum bisa berharap banyak ke Tiongkok pada tahun ini," ujar Hendra.

(Baca: Realisasi Produksi Batu Bara hingga Mei Baru Mencapai 42% Target)

Menurut Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), industri batu bara di Indonesia menghadapi sejumlah persoalan akibat pandemi Covid-19. Selain permintaan yang turun, kebijakan di Tiongkok dan India juga menekan ekspor batu bara Indonesia.

Analis Keuangan Energi IEEFA Ghee Peh menyebut pemerintah Tiongkok dan India mendukung penguatan industri batu bara di kedua negara. Hal itu menyebabkan volume produksi dan keuangan 10 perusahaan batu bara di Indonesia anjlok.

“Volume produksi lebih rendah dan ditambah harga jual batu bara yang secara historis bersifat sangat rendah akan memangkas laba perusahaan tersebut tahun ini, dan kemungkinan juga tahun depan,” ujar Peh.

Lebih lanjut, menurut dia, para pelaku usaha tambang di Indonesia berisiko menghadapi anjloknya volume pejualan serta harga yang jatuh bebas pada tahun ini. Apalagi dari sisi volume, sektor batu bara di Indonesia sangat mengadalkan ekspor lantaran tiga perempat dari semua permintaan.

"Selain itu, ada risiko yang terkonsentrasi karena lebih dari setengah dari ekspor batu bara ditujukan ke Tiongkok dan India yang sejak Covid-19 membatasi impor dan mendorong produksi batu bara domestik," ujarnya.

Peh memproyeksi ekspor batu bara Indonesia ke Tiongkok akan turun sebanyak 10% year on year (yoy) dan ekspor batu bara Indonesia ke India akan merosot hingga 20% yoy. Namun, ada risiko penyusutan volume ekspor yang lebih besar untuk India.

Menurut Peh, hal itu akan berdampak pada 10 perusahaan batu bara di Indonesia yang terdaftar di bursa saham. Adapun perusahaan yang akan mengalami penurunan permintaan ini memproduksi 66% dari seluruh batu bara Indonesia yang diekspor tahun 2019.

“Turunnya volume produksi berarti para produsen terpaksa memangkas biaya dan mengurangi output atau mengamankan pembeli baru,” ujarnya.

Meskipun Kementerian ESDM telah menyatakan bahwa Indonesia berencana mendorong ekspor batu bara ke Vietnam, Bangladesh, dan Pakistan. Namun peluang pasar di ketiga negara itu tidak merata dan diperkirakan tidak akan mudah melakukan negosiasi.

Reporter: Verda Nano Setiawan