Pengembangan sejumlah blok eksplorasi saat ini menemui jalan terjal. Pasalnya, kebijakan penetapan harga gas maksimal US$ 6 per MMbtu di plant gate tidak sesuai dengan perhitungan keekonomian pengembangan lapangan gas Kontraktor Kontrak kerja Sama atau KKKS.
Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto meyakini kebijakan yang diambil pemerintah pastinya telah memperhitungkan segala aspek. Termasuk implikasinya terhadap iklim investasi di sektor hulu, maupun dalam hubungannya dengan keekonomian pengembangan lapangan baik di masa eksplorasi maupun produksi.
Adapun salah satu yang sudah diantisipasi serta menjadi pilihan pemerintah yakni dengan mengurangi bagian negara di dalam kontrak bagi hasil. Sehingga bagian kontraktor dijamin tetap dan tidak berkurang atau berubah.
"Jadi, jika dalam kasus tertentu kebijakan capping harga gas di plant gate itu berimplikasi pada keekonomian pengembangan lapangan, maka pemerintah ya harus konsisten menerapkan skenario yang sudah ditetapkan, yaitu bersedia mengurangi porsi bagi hasilnya sendiri," ujar Pri kepada katadata.co.id, Selasa (11/8).
Menurut Pri, jika hal tersebut tidak cukup, maka opsi untuk menambah keekonomiannya bisa berasal dari pendapatan pemerintah dari pajak migas. Meski demikian, hal tersebut masih memerlukan pembahasan yang lebih lanjut.
"Baik di dalam kerangka payung hukum maupun di dalam aspek teknis implementasinya. Selalu akan ada trade-off dari setiap pilihan kebijakan," ujarnya.
Senada, Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal Husin menyebut dengan keluarnya penetapan harga gas bagi industri, pemerintah telah menjanjikan bahwa tingkat keekonomian bagi KKKS akan tetap dijaga.
"Saya sudah mengira akan ada tantangan untuk bagaimana menghitung kompensasi KKKS akan gap harga gas ini, salah satu tantangannya adalah asumsi biaya capex maupun opex yang kedua belah pihak (pemerintah dan KKKS) bisa saja mempunyai angka masing-masing," kata dia.
Maka itu, ia mendorong pemerintah agar cepat segera menyelesaikan persoalan tersebut secara transparan. Pasalnya, hal ini juga dapat menambah ketidakpastian investasi bagi investor di Indonesia. "Bila berlarut-larut akan mempengaruhi iklim investasi," ujarnya.
Sebelumnya, SKK Migas menyebutkan bahwa pengembangan Blok Sakakemang terancam mundur akibat aturan penurunan harga gas industri. Itu lantaran Repsol, keberatan dengan penetapan harga gas maksimal US$ 6 per MMbtu.
SKK Migas menyebut Repsol menginginkan harga jual gas dari Blok Sakakemang mencapai lebih dari US$ 7 per MMbtu. Pasalnya, perusahaan asal Spanyol itu ingin mendapatkan tingkat pengembalian investasi atau Internal Rate of Return (IRR) yang maksimal.
Sehingga harga gas Blok Sakakemang dipatok lebih tinggi dari ketetapan pemerintah. "Kami dari Divisi Komersial ikut campur dalam penentuan apakah bisa lanjut apa tidak. Harga keekonomian Repsol berbeda dengan harga jual di Indonesia," kata Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief Handoko pekan lalu.
SKK Migas dan Repsol pun terus berdiskusi terkait harga gas Blok Sakakemang. Lembaga tersebut ingin menjaga agar proyek migas bisa berjalan tanpa mengurangi penerimaan negara. "Kami harus imbang jaga keekonomian kontraktor dan penerimaan negara tidak berubah," ujarnya.