Menyorot Dampak Berantai Penghapusan PPN untuk LNG

PT Pelindo Energi Logistik
Ilustrasi. Pemerintah menghapus pajak pertambahan nilai atau PPN untuk gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG).
Penulis: Sorta Tobing
1/9/2020, 14.44 WIB

Pemerintah akhirnya mengeluarkan daftar barang kena pajak atau BKP yang mendapatkan pembebasan pajak pertambahan nilai atau PPN. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2020, salah satu barang yang mendapat relaksasi tersebut adalah gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG).

Melansir dari situs Sekretariat Kabinet, peraturan ini bertujuan meningkatkan rasio elektrifikasi secara nasional. Kehadirannya mengubah PP Nomor 81 Tahun 2015 tentang impor dan/atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN.

Keputusan ini sejalan dengan usulan pemberian insentif bagi kontraktor kontrak kerja sama atau KKKS terdampak pandemi corona. Salah satu dari sembilan insentif yang diusulkan adalah penundaan atau penghapusan PPN LNG. Insentif ini ditujukan bagi blok minyak dan gas bumi yang menghasilkan produk LNG dengan target perbaikan cash flow kontraktor.

Sebelum memberikan relaksasi PPN tersebut, pemerintah telah memberikan insentif berupa penundaan pembayaran dana pascatambang atau abandonment and site restoration (ASR) kepada KKKS. Namun, insentif ini dinilai tak cukup kuat menggairahkan iklim investasi hulu migas di tengah pandemi Covid-19.

Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolin Wajong berharap ada insentif fiskal tambahan bagi pelaku usaha migas. Pihaknya pun mengajukan beberapa usulan insentif kepada pemerintah. "Tapi belum bisa kami kemukakan karena masih dalam pembicaraan dengan pemerintah," katanya pada 23 Juli lalu.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menyebut pemberian penundaan pembayaran ASR bertujuan untuk menjaga stabilitas keuangan dan operasional kontraktor migas. Harapan lainnya adalah agar KKKS dapat mempercepat kegiatan peningkatan produksi. “Agar target tahun ini dan ke depan dapat tercapai,” ucap Dwi.

Target produksi minyak siap jual atau lifting pada tahun ini sebesar 755 ribu barel minyak per hari atau BOPD. Angkanya lebih tinggi daripada target sebelumnya di 734 ribu BOPD. Sementara target lifting gas bumi tahun depan tidak berubah, sama seperti target dalam RAPBN 2020 sebesar 1,19 juta barel setara minyak per hari (BOEPD).

PPN LNG dan Harga Jual Gas

Rencana penghapusan PPN merupakan wacana lama, bukan semata karena ada pandemi corona. Salah satu tujuannya adalah menurunkan harga jual gas bagi industri. Perusahaan Gas Negara alias PGN sempat mengusulkan dua solusi untuk mencapai hal tersebut, yaitu penghapusan PPN dan iuran gas pipa.

Direktur Utama PGN kala itu, Gigih Prakoso, mengatakan selama ini PGN dipungut pajak pertambahan nilai untuk pembelian gas dari KKKS. “PPN, seperti PPN LNG, kami usul dihapuskan,” katanya saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Jakarta, pada 3 Januari lalu.

Harga beli gas dari sektor hulu migas itu berkontribusi 70% terhadap pembentukan gas industri. “Transmisi 13% dan biaya distribusi 17%,” ujar Gigih.

Sesuai Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016, harga gas industri ditetapkan sebesar US$ 6 per juta British Thermal Unit (BTU). Namun, hingga kini harga gas sekitar Rp 87.402 per MMBTU (dengan kurs Rp 14.567 per dolar AS) tersebut tak kunjung terwujud.

Penyerap terbesar gas PGN saat ini adalah PLN, produsen listrik nasional. “Pada sektor listrik, PLN menyerap sekitar 41% total penyaluran gas bumi PGN per hari,” kata Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama dalam keterangan tertulisnya, dikutip dari Kompas.com.

Pada triwulan pertama 2020, PGN menyalurkan gas ke pembangkit listrik lebih dari 200 billion British Thermal Unit per day (BBTUD). Perusahaan saat ini sedang mengerjakan proyek strategis regasifikasi LNG untuk pembangkit listrik tenaga mesin gas (PLTMG) di Tanjung Selor, Nias, dan Sorong.

Reporter: Verda Nano Setiawan