Pengusaha Batu Bara Didorong Kembangkan Teknologi Ramah Lingkungan

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi tambang batu bara. Pemerintah mendorong produsen batu bara untuk memperkuat teknologi pertambangan ramah lingkungan.
27/10/2020, 19.41 WIB

Pemerintah mendorong produsen batu bara untuk memperkuat teknologi pertambangan ramah lingkungan. Hal ini untuk mengimbangi gerakan global yang mulai meninggalkan sumber bahan bakar itu demi menekan emisi karbon.

Direktur Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ridwan Djamaluddin mengatakan sejauh ini belum ada upaya sistematis pelaku usaha tambang mengurangi dampak yang ditimbulkan industri itu terhadap lingkungan. Jangan sampai potensi batu bara yang masih melimpah di Indonesia tidak dapat termanfaatkan secara optimal.

Ridwan juga mendorong penguatan kampanye global mengenai pentingnya teknologi ramah lingkungan dalam industri batu bara. "Negara yang sudah lebih dulu kenyang menggunakan batu bara sekarang mengkampanyekan hal lain. Kita perlu memperjuangkan (teknologi ramah lingkungan) itu demi kepentingan nasional," ujarnya dalam APBI-ICMA Award 2020 secara virtual, Selasa (27/10).

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro berpendapat industri batu bara sedang terdesak transisi energi dari fosil ke energi terbarukan. Sering kali isu ini tidak menemukan titik temu ketika dihubungkan ke aspek ekonomi. Pasalnya, batu bara merupakan bahan bakar yang paling murah dibandingkan sumber energi lain.

Persoalan harga dan keekonomian masih menjadi penghambat proses transisi energi di Indonesia. Ia mengandaikan pemakaian batu bara seperti konsumsi bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium.

Konsumen masih sulit meninggalkannya karena harganya yang murah. "Kalau mau hijrah dari batu bara, pemerintah harus memberikan subsidi karena tumpuan penyediaan listrik dengan biaya murah saat ini adalah batu bara," katanya.

Di sisi lain, kebutuhan batu bara Indonesia masih sangat besar. Pembangkit listrik dari program 10 ribu megawatt (MW) sebagian besar memakai komoditas itu. Lalu, program 35 ribu megawatt yang sedang dalam proses pembangunan, kondisinya pun serupa. Sebagian besar merupakan pembangkit listrik tenaga uap alias PLTU.

Pemerintah tampaknya juga belum dapat melepas bahan bakar itu. Dalam Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, terlihat jelas pemerintah memberikan perhatian besar untuk hilirisasi batu bara. "Batu bara kita cadangannya cukup besar bahkan kalau produksi sekarang aja masih cukup untuk 60 hingga 65 tahun ke depan untuk support kebutuhan dalam negeri," ujarnya.

Posisi Batu Bara Bakal Digeser Nikel

Riset bank investasi dan keuangan asal Amerika Serikat, Morgan Stanley, memprediksi penggerak produk komoditas Indonesia akan bergeser dari batu bara ke nikel. Ekspornya diperkirakan akan naik seiring dengan peningkatan investasi yang signifikan dari perusahaan Tiongkok.

Potensi itu semakin besar karena Indonesia memiliki cadangan bijih nikel terbesar di dunia. Kualitasnya pun sesuai untuk bahan baku baterai mobil listrik (EV). “Kami yakin batu bara tidak akan melanjutkan perannya sebagai pendorong utama pertumbuhan karena banyak negara ingin menurukan emisi karbon dalam perekonomiannya,” tulis riset itu beberapa waktu lalu.

Sejak 2000 hingga awal 2010, pertumbuhan ekonomi negara ini ditopang oleh batu bara. Kontribusinya terhadap produk domestik bruto di atas 10%. Namun, angkanya terus menurun dan pada kuartal kedua tahun ini menjadi hanya 7% seiring dengan pelemahan konsumsinya.

Analis komoditas global Morgan Stanley Susan Bates memperkirakan permintaan jangka menengah untuk nikel justru akan bullish. “Hal ini mengingat prospek permintaan stainless (baja tahan karat) dan kendaraan listrik yang kuat,” katanya.

Prediksinya, permintaan stainless akan naik sebesar 2% per tahun hingga 2025 seiring intensitas penggunaannya di pasar negara berkembang. Permintaan nikel untuk kendaraan listrik juga berperan penting dalam dua hingga tiga tahun ke depan. Pertumbuhannya dapat mencapai 12% pada 2025 dan 23% pada 2030.

Reporter: Verda Nano Setiawan