Hasil Kajian: Hilirisasi Batu Bara Lebih Mahal daripada Impor Elpiji

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi. Studi IEEFA menyimpulkan proyek hilirisasi batu bara terlalu mahal dan tidak sesuai dengan tujuan pemerintah.
10/11/2020, 18.54 WIB

Proyek hilirisasi batu bara diperkirakan tak lebih baik daripada mengimpor elpiji. Studi lembaga kajian internasional asal Amerika Serikat, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyimpulkan proyek itu terlalu mahal dan tidak sesuai dengan tujuan pemerintah.

Pemerintah saat ini mendorong perusahaan batu bara melakukan gasifikasi batu bara. Upaya hilirisasi ini bertujuan mengurangi ketergantungan impor dan subsidi elpiji. Hasil dari gasifikasi adalah dimethyl ether alias DME yang dapat menggantikan bahan bakar yang kerap ditulis LPG itu.

Selama ini elpiji 3 kilogram mendapat subsidi dari pemerintah. Jumlahnya sekitar Rp 42 triliun hingga Rp 55 triliun per tahun. Angka ini lebih besar ketimbang subsidi bahan bakar minyak, yaitu solar dan minyak tanah, seperti terlihat pada grafik Databoks berikut.

Peneliti sekaligus analis keuangan IEEFA Ghee Peh mengatakan menggantikan elpiji dengan DME tidak masuk akal secara ekonomi. Berdasarkan perhitungan IEEFA, biaya produksi DME dua kali lipat lebih mahal daripada impor LPG.

Total biaya membangun fasilitas produksi DME adalah Rp 6,5 juta per ton atau US$ 470 per ton. Angka ini hampir dua kali lipat dari biaya yang pemerintah keluarkan untuk mengimpor elpiji atau LPG. IEEFA memperkirakan proyek gasifikasi Bukit Asam dapat menggerus penghematan impor elpiji hingga Rp 266,7 miliar atau US$ 19 juta.

Selain itu, kontraksi ekonomi akibat krisis Covid-19 masih terasa. Bukan langkah tepat bagi pemerintah memberikan dukungan kepada proyek energi yang secara ekonomi tidak masuk akal. Permintaan keringanan dan insentif yang diajukan pelaku industri batu bara rasanya akan sulit terealisasi.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan