Pemerintah membuka dua opsi lokasi pabrik pemurnian atau smelter tembaga PT Freeport Indonesia. Pertama, di Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur dengan nilai investasi US$ 3 miliar atau sekitar Rp 42 triliun.
Kedua, di Kawasan Industri Weda Bay, Halmahera, Maluku. Freeport dapat menggandeng perusahaan smelter di sana Tsingshan Steel asal Tiongkok untuk membangun smelter tersebut. Nilai proyeknya pun turun menjadi US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 25,5 triliun.
Direktur Utama Freeport Indonesia Tony Wenas mengatakan perusahaan bakal memilih opsi yang paling ekonomis. “Kami tentu lebih prefer ke Halmahera,” katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Senin (7/12).
Freeport masih menanti keputusan pemerintah soal ini. Sampai sekarang belum ada kesepakatan resmi, tapi pembicaraanya terus berlangsung. “Berapa kapasitas, bagaimana jadwal pembangunannya, masih terus dalam pembicaraan. Belum ada kesepakatan,” ujar Tony.
Direktur Utama Indonesia Asahan Aluminum atau MIND ID Orias Petrus Moedak pun mendukung rencana Freeport menggandeng Tsingshan Steel. Dengan syarat, biaya pembangunannya lebih kecil dibandingkan hitungan awal.
Pasalnya, dari investasi sebesar US$ 3 miliar untuk membangun smelter di Gresik, MIND ID selaku induk usaha harus menanggung beban US$ 1,2 miliar hingga US$ 1,5 miliar. “Jadi, kami mendukung (smelter di Halmahera). Tapi saat ini semua masih dalam tahap awal pembicaraan,” kata Orias.
Rencana ini juga sebelumnya mendapat dukungan dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dalam wawancaranya dengan Asia Times, mengatakan kesepakatannya akan ditandatangani sebelum Maret 2021.
Sebagaimana diketahui, Tsingshan telah setuju akan menyelesaikan smelter itu dalam waktu 18 bulan. Juru bicara Freeport Indonesia Riza Pratama sebelumnya mengatakan kerja sama ini merupakan inisiatif pemerintah.
Kedua perusahaan masih melakukan pembahasan untuk pembangunannya. Ia tak merinci alasan pemindahan lokasi smelter tersebut. “Itu opsi dari pemerintah,” katanya kepada Katadata.co.id, pekan lalu.
Freeport Tingkatkan Kapasitas PT Smelting
Sebagaimana diketahui, tarik ulur soal pembangunan smelter Freeport terus berlangsung. Sinyal perusahaan tidak ingin membangunnya sudah terlihat pada Oktober lalu. Ketika itu, Chief Executive Officer Freeport McMoran Richard Adkerson mengatakan proyek itu tidak ekonomis dan memakan biaya besar.
Sebagai gantinya, ia menawarkan alternatif lain. “Ketimbang membangun smelter baru, lebih baik memperluas kapasitas smelter existing dan menambah pabrik logam mulia,” katanya dalam telepon konferensi, dikutip dari situs Nasdaq.
Executive Vice President and Chief Financial Officer Freeport McMoran Kathleen Quirk menghitung biaya membangun smelter sangat besar ketimbang perluasan pabrik yang sudah ada. Untuk pabrik baru investasinya mencapai US$ 3 miliar. “Untuk perluasan smelter sekitar US$ 250 juta,” ucapnya.
Sebagai informasi, Freeport McMoran merupakan pemegang saham 49% Freeport Indonesia. Sisa kepemilikan saham itu ada di tangan pemerintah, melalui MIND ID alias PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero).
Perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu sebelumnya telah melakukan kesepakatan dengan Mitsubishi Materials Corporation untuk meningkatkan kapasitas smelter tembaga PT Smelting dari 1 juta ton menjadi 1,3 juta ton konsentrat per tahun. Sebagai kompensasinya, smelter baru Freeport kapasitasnya menurun dari 2 juta ton menjadi 1,7 juta ton per tahun.
Smelting merupakan smelter tembaga pertama Indonesia yang dibangun Freeport bersama konsorsium Jepang pada 1996. Lokasinya juga di Gresik, Jawa Timur dengan operatornya Mitsubishi.
Kapasitasnya mencapai 1 juta ton konsentrat tembaga yang mampu diolah menjadi 300 ribu ton katoda per tahun. Di pabrik ini, Freeport memurnikan 40% seluruh produksi tembaganya yang berasal dari tambang Grasberg di Mimika, Papua.