Kesepakatan pembentukan holding badan usaha milik negara atau BUMN untuk menjalankan bisnis baterai hingga kini belum terealisasi. Padahal dua perusahaan asing telah berminat bergabung dalam bisnis tersebut.
Perusahaan asing itu adalah Contemporary Amperex Technology Co Ltd (CATL) asal Tiongkok dan LG Chem Ltd asal Korea. Keduanya termasuk produsen baterai kendaraan listrik (EV) terbesar di dunia.
Direktur Utama Indonesia Asahan Aluminum atau MIND ID Orias Petrus Moedak menjelaskan hingga saat ini belum ada satupun kesepakatan yang terjalin. Masing-masing anggota konsorsium masih melakukan negosiasi dengan para mitra.
“Kami berharap awal tahun depan bisa ada kesepakatan antara calon mitra, baik dari sisi tambang, battery pack hingga ke proses daur ulangnya," kata Orias dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR, Senin (7/12).
Aset tambang nikel anak usaha MIND ID, PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, menjadi salah satu topik pembahasan. Direktur Utama Antam Dana Amin mengatakan asetnya cukup kuat membawa Indonesia masuk ke industri kendaraan listrik dunia.
“Memang partnernya (perusahaan baterai) nomor satu dan dua dunia. Proses negosiasinya masih berlangsung dan butuh dukungan semua pihak,” ujarnya.
Untuk merealisasikan holding baterai ini, Komisaris Utama MIND ID Agus Tjahjana Wirakusuma telah ditunjuk sebagai ketua pembentukan PT Indonesia Battery. Selain MIND ID, konsorsium ini juga berisi Pertamina dan PLN.
Sebagai informasi, Indonesia merupakan produsen dan pemilik cadangan nikel terbesar dunia. Meski demikian, hal ini tak membuat bisnis baterai dapat melenggang mulus. Ada satu bahan bakunya tidak ada di sini, yaitu lithium.
Orias sebelumnya menyebut impor lithium menjadi salah satu opsi untuk operasional pabrik baterai BUMN. Opsi lainnya adalah berinvestasi tambang komoditas itu di negara lain. “Jadi, ada berbagai kombinasi bahan baku baterai itu. Ada nikel, kobalt, lithium. Kandungan nikelnya akan mayoritas, 80%," kata Orias.
Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat total produksi nikel di dunia pada tahun lalu berada di angka 2,6 juta ton. Sementara secara global, Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia dengan menghasilkan 800 ribu ton.
Puncak produksi olahan nikel terjadi pada tahun lalu. Kementerian ESDM mencatat produk olahannya mencapai hampir 2 ton. Angka ini melebihi target 860 ribu ton karena ada tambahan produksi dari pabrik pemurnian atau smelter PT Virtue Dragon di Konawe, Sulawesi Tenggara, yang menghasilkan 745 ribu ton.
Tiongkok Kuasai Pasar Baterai Global
Tiongkok saat ini merupakan produsen baterai terbesar di dunia. Negeri Panda tidak hanya menguasai teknologinya, tapi juga bahan bakunya.
Melansir dari VOA, pada 2019 perusahaan kimia Tiongkok menyumbang 80% dari total produksi bahan mentah dunia untuk baterai canggih. “Dari 136 pabrik baterai lithium-ion, 101 di antaranya berbasis di Tiongkok,” kata data Benchmark Mineral Intelligence.
Negeri Manufaktur itu mengontrol pemrosesan hampir semua mineral penting. Mulai dari logam tanah jarang atau rare earth, lithium, kobalt, dan grafit. Perusahaan asal Tiongkok, Contemporary Amperex Technologi Co Ltd (CATL), saat ini merupakan produsen baterai listrik terbesar di dunia.
Pangsa pasar perusahaan yang berdiri pada 2011 itu mencapai 27,9% secara global. CATL memasok baterai untuk Tesla, Daimler AG, BMW, dan Toyota.
Selain nikel, pembuatan baterai lithium juga bergantung pada bahan utama lainnya, yaitu grafit. Mineral ini biasanya ditemukan pada ujung pensil. Pada 2019, Tiongkok memproduksi lebih dari 60% grafit dunia. Artinya, Beijing dapat menetapkan harganya.
Negara lain sulit mengejar posisi tersebut. Bahkan Amerika Serikat diperkirakan butuh 20 hingga 30 tahun untuk menyusul Tiongkok.
Komoditas tambang lainnya yang tak kalah penting adalah kobalt. Mineral ini banyak dipakai dalam kendaraan listrik dan peralatan elektronik
Tiongkok hanya memiliki cadangan kobalt 1% secara global. Yang terbesar, mencapai 60% cadangan dunia, adalah Republik Demokratik Kongo. Sebanyak delapan dari 14 tambang kobalt di negara Benua Afrika itu milik perusahaan Tiongkok.
Pada 2016, Freeport-McMoran Inc menjual tambang kobaltnya di Republik Demokratik Kongo kepada China Molybdenum. Nilai transaksinya mencapai U$ 2,65 miliar.
Yang tak kalah krusial adalah mineral lithium. Lagi-lagi, Tiongkok tak punya pasokan banyak tapi menguasai 51% cadangan di dunia. Tambang lithium besar di Australia dan Chile telah dikuasai perusahaan Negeri Tembok Raksasa.