Pemerintah perlu mengevaluasi penerapan harga gas bumi khusus industri dan kelistrikan. Patokan harga US$ 6 per juta British Thermal Unit (MMBTU) ternyata tidak membuat penyerapannya maksimal.
Anggota Komisi VII DPR Ridwan Hisjam meminta agar alokasi gas yang tidak memiliki performa bagus untuk segera dievaluasi. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perindustrian, perlu memilah industri mana yang layak mendapatkan harga gas khusus tersebut.
Apabila kebijakan tersebut tidak menciptakan efek berantai, maka negara akan merugi. “Kami berharap (dampak) ekonominya berjalan," kata dia dalam rapat dengar pendapat Komisi VII DPR, Rabu (24/3).
Banyak perusahaan mendapatkan harga khusus tapi tidak memaksimalkan alokasinya. Anggota Komisi VII Ratna Juwita mengatakan kondisi ini malah membebani keuangan PT Perusahaan Gas Negara Tbk alias PGN.
Ia mempertanyakan peran Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam masalah itu. “Sebenarnya perkembangan industri yang mendapat harga gas murah seperti apa?” katanya.
Dirjen Migas Tutuka Ariadji mengatakan koordinasi lintas kementerian sangat penting. "Kalau tidak terserap, masalahnya apa? Saya setuju melakukan evaluasi dengan Kemenperin," ujarnya.
Evaluasi itu berada di sektor perindustrian. Kementerian ESDM telah meminta evaluasi untuk melihat seberapa besar dampak kebijakan harga gas tertentu ini bagi perekonomian.
PGN Berpotensi Merugi
PGN memperkirakan akumulasi kerugian penjualan gas buminya dari tahun 2020 hingga 2024 mencapai US$ 801,38 juta atau sekitar Rp 11,5 triliun. Hal ini seiring dengan implementasi harga gas bumi khusus.
Direktur Utama PGN Suko Hartono mengatakan penyaluran gas dengan harga gas bumi tertentu (HGBT) telah berjalan sejak 13 April 2020. Hal ini untuk mendukung Keputusan Menteri ESDM No.89 K/10/MEM/2020, dan Keputusan Menteri ESDM No.91K/10/MEM/2020 terkait harga dan pengguna gas bumi di bidang industri dan kelistrikan.
Dalam perjalanannya, serapan gasnya masih rendah. Realisasi penyerapannya baru mencapai 61% dari total alokasi gas sebesar 229,4 miliar British Thermal Unit per hari (BBTUD).
Untuk kelistrikan, realisasinya baru mencapai 80% dari alokasi 251,6 miliar British Thermal Unit per hari. “Ini yang jadi catatan untuk dievaluasi bersama. Meskipun diberi harga relatif baik, pemakaiannya masih 61%," kata dia.
Bahan bakar yang sudah dialokasikan tersebut tidak bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan nonpenugasan. Karena itu, Suko meminta agar penyerapan gas di dalam negeri dapat dioptimalkan kembali.
Ia juga mengusulkan agar pemerintah memberikan insentif untuk mengatasi persoalan rendahnya serapan gas industri dan pembangkit listrik. “Dari 100%, yang diserap baru 60% sampai 70%. Yang 30% bagaimana? Ini masuk insentif apa tidak," ujarnya.