Rencana PT Freeport Indonesia membangun pabrik pemurnian atau smelter tembaga di Kawasan Industri Weda Bay, Halmahera, Maluku Utara, semakin terang. Perusahaan akan menggandeng Tsingshan Steel asal Tiongkok dalam proyek ini.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pada 31 Maret 2021 akan ada kesepakatan kerja sama antara Freeport dengan Tsingshan. Keduanya akan membangun fasilitas pengolahan konsentrat tembaga menjadi katoda.
"Mudah-mudahan minggu depan akan tanda tangan pembangunan smelter-nya,” ujar Luhut dalam Mining Forum Prospek Industri Minerba 2021, Rabu (24/3).
Nantinya, ada dua pabrik smelter yang terbangun di lokasi tersebut. "Satu untuk nikel dan satu tembaga," katanya.
Di lahan lahan seluas 12 ribu hektare tersebut semuanya terintegrasi menjadi satu. "Kami berharap smelter tembaga ini akan beroperasi pada 2023. Sedangkan, yang nikel sudah berproduksi," kata Luhut.
Rencana awal, Freeport akan membangun pabrik pengolahannya di di Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur. Nilai investasinya mencapai US$ 3 miliar atau Rp 42 triliun. Pemerintah lalu membuka opsi membangun pabrik pemurnian di Weda Bay, Maluku Utara.
Direktur Utama Freeport Indonesia Tony Wenas mengatakan perusahaan bakal memilih opsi yang paling ekonomis dalam pembangunan smelter. Untuk membangun pabrik di Weda Bay biayanya menjadi US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 25 triliun. “Kami tentu lebih prefer ke Halmahera,” katanya beberapa waktu lalu.
Direktur Utama Indonesia Asahan Aluminum atau MIND ID Orias Petrus Moedak pun mendukung rencana Freeport menggandeng Tsingshan Steel. Dengan syarat, biaya pembangunannya lebih kecil dibandingkan hitungan awal.
Pasalnya, dari investasi sebesar US$ 3 miliar untuk membangun smelter di Gresik, MIND ID selaku induk usaha harus menanggung beban US$ 1,2 miliar hingga US$ 1,5 miliar. “Jadi, kami mendukung (smelter di Halmahera). Tapi saat ini semua masih dalam tahap awal pembicaraan,” kata Orias.
Keran Ekspor Mineral Dibuka
Pada pekan lalu, pemerintah menerbitkan aturan baru soal ekspor mineral logam. Perusahaan tambang boleh melakukan itu meskipun kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurniannya belum mencapai target.
Aturannya terbit pada akhir pekan lalu dan tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No.46.K/MB.04/MEM.B/2021. Perusahaan yang boleh melakukan ekspor tersebut adalah pemegang izin usaha pertambangan (IUP) operasi khusus dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Meskipun boleh ekspor, para pemegang izin usaha itu tetap terkena sanksi administratif karena progres smelter yang lambat. Pemerintah menerapkan denda sebesar 20% dari nilai kumulatif penjualan ke luar negeri pada periode evaluasi.
Nah, dengan adanya Keputusan Menteri ESDM yang baru, tentu saja memberi angin segar bagi perusahaan yang belum menyelesaikan pabrik pemurniannya. Misalnya, Freeport. Berdasarkan laporan dari Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM, progres pembangunan pabrik pemurnian tembaga Freeport baru 5,86% dari target tahun lalu yang seharusnya mencapai10,5%.
Juru bicara Freeport Indonesia Riza Pratama mengatakan realisasi kemajuan fisik smelter tidak mencapai target karena dampak pandemi Covid-19. Pemerintah dan Freeport sedang mendiskusikan aktivitas pembangunan mana saja yang tertunda.
Perusahaan tetap berkomitmen memberi nilai tambah produksi tambangnya. “Kami juga terus berdiskusi dengan pemerintah untuk merealisasikan rencana produksi dan kontribusi Freeport, termasuk bea keluar ekspor,” ujar Riza, kemarin.